sejarah sidoarjo


KATA SAMBUTAN
BUPATI SIDOARJO,
DRS WIN HENDRARSO, MSI
Selamat kepada Tim Penelusuran Sejarah Sidoarjo, yang telah selesai menyusun naskah buku tentang sejarah Sidoarjo tempo dulu yang diberi judul: Jejak Sidoarjo, dari Jenggala ke Suriname.
Layaknya buku-buku tentang sejarah, buku ini memotret realitas masa lalu di daerah kita tercinta, Sidoarjo ini. Sebuah penulisan sejarah adalah potret yang bisa hadir dengan bidikan kamera dari berbagai sudut pandang. Buku ini mencoba mengangkat sejarah dari perspektif yang cukup komprehensif. Di satu sisi, menceriterakan tentang sejarah kelahiran sebuah kawasan yang sekarang kita kenal dengan nama Sidoarjo ini.
Di sisi yang lain, juga dianalisis sejarah Sidoarjo dalam perspektif perkembangan ekonomi, politik dan juga aspek denyut nadi masyarakat lainnya.
Sebagaimana kita ketahui, pentingnya sejarah terletak pada bagaimana kita memahami makna untuk kemudian mengambil hikmah yang tersembunyi di dalamnya. Sebuah peristiwa yang sudah terjadi di masa lampau, akan bernilai lebih apabila kita bisa mengambil manfaat darinya.
Dari perjalanan sejarah Sidoarjo di masa lampau, apa yang bisa dipetik oleh masyarakat adalah semangat juang generasi kita di masa lampau untuk survive, bertahan hidup, dengan nasionalisme yang menggelora untuk melawan segala jenis penindasan yang datang dari luar. Berbagai pemberontakan yang muncul di Sidoarjo di era kolonialisme membuktikan hal itu.
Kita yakin bahwa kebebasan dan kemerdekaan adalah sesuatu yang asasi dan mutlak diperjuangkan oleh setiap individu. Tidak ada sesuatupun yang boleh menghilangkan dan menindasnya atas nama apapun. Maka secara filosofis, kemerdekaan itu berarti bebas dari penidasan dan bebas untuk berbuat, dengan dilandasi oleh satu toleransi bahwa kemerdekaan kita itu tidak boleh melanggar kebebasan individu dan sosial kemasyarakatan.
Pada titik tertentu, nasionalisme merupakan reaksi spontan yang dilandari oleh Zeitgeist —semangat zaman yang dalam setiap periode sejarah, nasionalisme ini jelas berbeda-beda bentuknya. Bila kita refleksikan sekarang, nasionalisme kita tentunya lebih sesuai dan kontekstual bila diwujudkan untuk membangun Sidoarjo di segala bidang.
Sekali lagi, saya mengucapkan selamat atas terbitnya buku “Jejak Sidoarjo dari Jenggala ke Suriname.” Semoga bisa menjadi bahan referensi dan penelitian lebih lanjut dalam rangka pengembangan masyarakat yang berpendidikan, demokratis, egaliter dan partisipatoris.
Sidoarjo, 20 Februari 2006
(Drs. Win Hendrarso, Msi)
_________________________________________________________________________________________________
PRAKATA
KETUA TIM
PENELUSURAN SEJARAH SIDOARJO
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha esa atas selesainya penulisan buku ini. Karena tanpa karunia dan ke-Maha Pemurah-an nya karya tulis ini tidak akan pernah dapat selesai.
Ide awal dari penulisan buku ini bermula dari keprihatinan melihat minimnya referensi tentang Sejarah Sidoarjo. Padahal, buku sejarah tidak hanya penting tetapi juga bisa menjadi referensi kita untuk mengambil kebijakan di masa depan.
Selain itu, perasaan kita tercabik-cabik melihat berbagai fenomena sosial di sekitar kita. Kenapa hingga detik ini masih saja banyak dari diri kita yang mengulang-ulang kesalahan yang sama. Apakah kita tidak pernah belajar masa lalu kita? Di sinilai pentingnya rentetan masa lalu itu dibukukan dalam bentuk buku sejarah.
Naskah buku ini sebagian pernah diikutsertakan dalam lomba menulis sejarah tingkat Kabupaten Sidoarjo yang digelar oleh Badan Kepegawaian Daerah untuk memperingati Hari Ulang Tahun Kabupaten Sidoarjo, dan menjadi pemenang pertamanya. Dengan rendah hati, kita juga bermaksud untuk menjadikan naskah buku ini menjadi kado bagi kota tercinta ini.
Sebuah karya yang mendasarkan diri pada sejarah, selalu dan pasti akan membuka sebuah perdebatan tentang versi sejarah mana yang benar. Sebab sejarah sendiri menyediakan ruang yang lumayan luas untuk itu. Tetapi bagaimanapun sejarah akan selalu bersifat subyektif, karena berdasarkan pada bagaimana si penulis melihat, menganalisa dan menilai “mahluk unik” ini.
Adapun bila sebuah perdebatan itu terjadi seyogyanya tidak melandaskan pada pandangan kalah-menang saja. Tetapi lebih pada tujuan untuk menggali secara bersama-sama sejarah Sidoarjo. Sebab seperti yang di ketahui, upaya untuk menggali sejarah Sidoarjo sangat minim. Padahal bila mau jujur perkembangan interaksi masyrakat dan sendi-sendi kehidupanya bisa diteropong dengan perjalanan sejarah.
Pendapat ini juga untuk menjawab beberapa anasir yang menganggap sejarah sama dengan musium yang kesepian di tengah kepungan Mall-mall. Sejarah bukan hanya sebuah pelajaran penambah nilai bagi adik-adik kita yang kini masih berada di bangku sekolah. Tetapi ia juga merupakan ruh terbesar bagi dinamika masyarakat.
Setelah bekerja siang malam, tim yang terdiri dari berbagai kalangan ini memberanikan diri untuk menerbitkan naskahnya dalam bentuk buku sejarah. Dan kita semua memahami secara bijaksana, sebuah buku adalah kumpulan bab, kumpulan kalimat, kumpulan kata yang bisa jadi salah. Namun juga bisa jadi memiliki muatan kebenaran. Pada titik inilah, diperlukan analisa kritis tidak hanya dari segi bahasa, namun juga logika dan penalaran kronologis dari isi dan materi buku tersebut.
Terakhir, tim penelusuran sejarah Sidoarjo menyampaikan banyak terima kasih kepada Bupati Sidoarjo telah berkenan memberi kata pengantar di buku ini. Ucapan terima kasih juga kami sampaikan kepada rekan-rekan anggota tim yang telah berjibaku untuk menuntaskan karya ini.
Begitu banyak individu dan lembaga yang terlibat dalam proses penulisan ini. Begitu banyak ucapan terima kasih harus dilontarkan. Karenanya untuk kerja sama dan perhatian mereka semua, kami sekali lagi mengucapkan terima kasih.
Sidoarjo, 15 Februari 2006
(M. Bahrul Amig)
BAB 1 DEWI KILISUCI DAN KESUNYIAN SELOMANGLENG
Andai Dewi Kilisuci bersedia menjadi ratu di Kahuripan, barangkali sejarah tidak mengenal kerajaan Jenggala. Tetapi karena sang dewi lebih tertarik pada kesunyian gua Selomangleng (Kediri) daripada pesta pora hedonistik istana, maka Ayahnya, Airlangga merasa perlu membagi kerajaan menjadi dua.
Pembelahan kerajaan Kahuripan bukan saja merubah wajah Jawa secara geografis, tapi juga geopolitik dan ekonomi. Pusat pemerintahan yang sebelumnya ada di satu tempat kini menjadi dua. Hanya sayangnya pusat ekonomi tetap menjadi hak sebuah daerah belahan dari Kahuripan.
Masing-masing dua daerah belahan Kahuripan ini mempunyai kekuatan dan kelemahan. Jenggala, belahan sebelah utara ini kuat dalam ekonomi karena bandar dagang di Sungai Porong termasuk dalam wilayahnya. Sedangkan Dhaha (Kediri) yang bercorak agraris ini lebih kuat dalam bidang Yudhagama, olah keperajuritan, militer, bahkan mempunyai pasukan gajah.
Pembelahan kerajaan ini memang pada ujungnya juga menyisakan sebuah sengketa antar dua pewaris. Dimana di salah satu belahan mengalami tingkat perekonomian yang tinggi, sementara di belahan lain tingkat ekonominya sangat minus.
Kedua perbedaan inilah yang menimbulkan sebuah perang yang akan meluluh lantakkan sebuah kerajaan dari muka bumi. Dan kerajaan itu adalah Jenggala.
“Dari Bali ke Kahuripan”
Bicara tentang sejarah jawa feodal, kita tidak bisa meninggalkan Airlangga. Walaupun ia tidak berasal dari Jawa, Airlangga mempunyai peran besar dalam menentukan arah kisaran sejarah Jawa Timur paska kerajaan Kahuripan.
Airlangga adalah putra Raja Bali, Udayana dari pemaisuri Mahendratta. Ibu Airlangga ini masih adik kandung dari Sri Dharmawangsa Teguh Anantawikrama, Raja Medang Kamulan di Jawa Timur, sebuah kerajaan yang berjalur keturunan Dinasti Isyana dari jaman Mataram Hindu (silsilah terlampir)
Pada umur 17 tahun, Airlangga datang ke Mendang Kamulan untuk menikahi kedua putri Sri Darmawangsa Teguh yang bernama Sri dan Laksmi. Pada waktu pesta penikahan ketiga anak raja ini terjadi sebuah peristiwa yang membuat Airlangga muda merubah jalan hidupnya.
Barangkali hanya Sri Dharmawangsa Teguh, raja Jawa yang berani menyerang Sriwijaya. Padahal, Sriwijaya yang bercorak Budha itu sedang mengalami jaman keemasannya oleh bandar dagang dan ketinggian filsafatnya. Bisa ditebak jika serangan dari Jawa itu kemudian mengalami kegagalan. Namun itu tidak mengurungkan Sriwijaya untuk menghukum Medang Kamulan dengan menggunakan kerajaan Wura-wuri (Ponorogo) sekutunya di Jawa.
Serbuan dari kerajaan Wura-wuri itu terjadi tepat di malam pesta pernikahan Airlangga dengan kedua Putri Dharmawangsa. Peristiwa tragis yang kemudian disebut Pralaya (Malapetaka) di Kraton Medang itu menewaskan Sri Dharmawangsa Teguh berikut pemaisuri, patih dan menteri-menterinya.
Menurut batu Calcutta, seluruh Jawa bagaikan satu lautan yang dimusnahkan oleh raja Wura-wuri. Tapi ada yang lolos dari kehancuran, yaitu Airlangga beserta kedua istri dan sedikit pengawalnya yang melarikan diri ke Gunung Prawito (Penanggungan). Di sana, Airlangga bersembunyi dan mengatur kekuatan untuk merebut kembali kerajaan mertuanya.
Pada tahun 1019, Airlangga yang dinobatkan oleh para pendeta Budha, Siwa dan Brahmana, menggantikan Dharmawangsa, bergelar Sri Maharaja Rake Halu Sri Lokeswara Dharmawangsa Airlangga Anantawikramo-ttunggadewa. Ia memerintah dengan daerah hanya kecil saja karena kerajaan Dharmawangsa sudah hancur, menjadi terpecah-pecah menjadi kerajaan-kerajaan kecil.
Sejak tahun 1028 Airlangga mulai merebut kembali daerah-daerah saat pemerintahan Dharmawangsa, yang bisa jadi juga ada hubungannya dengan kelemahan Sriwijaya yang baru saja diserang dari Colamandala (1023 dan 1030). Raja-raja yang ditaklukkan itu adalah Bhismaprabhawa (1028-1029), Wijaya dari Wengker (1030), Adhamapanuda (1031), raja Wengker (1035), Wurawari (1032) dan seorang seperti raksasa raja perempuan (1032). Peperangan Airlangga melawan Sang Ratu ini melahirkan legenda Calon Arang di Bali.
Kemakmuran dan ketentraman pemerintahan Airlangga (ia dibantu oleh Narottama/rakryan Kanuruhan dan Niti/rakryan Kuningan) yang ibukotanya pada tahun 1031 di Wotan Mas dipindahkan ke Kahuripan di tahun 1031, kraton dari kerajaan ini diperkirakan berada di desa Wotan Mas, wilayah Ngoro kabupaten Pasuruan, atau sekarang lebih dikenal dengan nama situs Kuto Girang.
Pemerintahan Airlangga diikuti dengan suburnya seni sastra, yang antara lain: kitab Arjuna Wiwaha karangan mpu Kanwa tahun 1030 M yang berisi cerita perkawinan Arjuna dengan para bidadari hadiah para dewa atas jerih payahnya mengalahkan para raksasa yang menyerang kayangan (kiasan hasil usaha Airlangga sendiri yang merupakan persembahan penulis kepada raja). Ini juga pertama kali keterangan wayang dijumpai, walau sebetulnya sudah ada sebelum Airlangga.
“Kahuripan Terbelah”
Prabu Airlangga mempunyai dua istri yaitu Sri dan Laksmi. Keduanya adalah putri Dharmawangsa Teguh Anantawikrama yang tak lain pamannya sendiri. Dari perkawinannya dengan Sri, Prabu Airlangga mendapatkan seorang putri yang bergelar Dewi Kilisuci atau disebut juga Dewi Sanggramawijaya yamg ditetapkan sebagai mahamantri i hino (ialah berkedudukan tertinggi setelah raja). setelah tiba masanya menggantikan Airlangga, ia menolak dan memilih sebagai pertapa. S
Semenjak awal Dewi Kilisuci telah menjalani kehidupan sebagai seorang pertapa. Rupanya Kesunyian Gua Selomangleng (Kediri) dan Pucangan (gunung Penanggungan), ternyata lebih menarik perhatian sang Putri dari pada Hedonistik Istana. Dia memutuskan untuk menarik diri dari hiruk pikuk keduniawian, Sehingga ia menolak ketika harus menggantikan Airlangga menjadi ratu di Kahuripan.
Selain Dewi Kilisuci, Airlangga juga mempunyai dua orang bernama Lembu Amisena dan Lembu Amilihung. Keduanya putra dari selir. Karena pewaris tahta yang sah tidak bisa menggantikannya, Airlangga merasa perlu membagi kerajaan untuk dipimpin kedua putranya. Sebelum Keputusan ini di ambil, Airlangga terlebih dahulu meminta saran Mpu Bharada yang menjadi penasehatnya. Menurut sang Mpu, membagi kerjaan bukanlah sebuah jalan keluar yang baik, sebab dikhawatirkan akan timbul perang saudara antar putra Airlangga.
Kemudian Mpu Bharada menyarankan agar salah satu putraAirlangga memerintah di Bali, karena masih punya darah dengan Udayana (ayah Airlangga). Saran Mpu Bharada di terima oleh Airlangga dan segera mengutusnya ke Bali. Di sana Mpu Bharada melakukan perundingan dengan Mpu Kuturan, seorang pandita tinggi. Tetapi usul Airlangga itu ditolak Mpu Kuturan karena yang bisa menjadi Raja Bali adalah keturunan Mpu Kuturan sendiri. Merasa menemukan jalan buntu, Mpu Bharada kembali ke Kahuripan.
Berdasarkan dua petimbangan di atas, maka Airlangga melaksanakan pembelahan kerajaan Kahuripan 1042. Proses pembagian kerajaan itu menjadikan Kahuripan menjadi Dua. Di Kahuripan bagian Utara berdiri kerajaan Jenggala yang dipimpin Lembu Amiluhung yang bergelar Sri Jayantaka, sedangkan di bagian Selatan berdiri Kerajaan Dhaha yang dipimpin Lembu Amisena yang bergelar Sri JayaWarsa.
Peristiwa pembelahan ini dicatat oleh Mpu Prapanca dalam kitabnya Negarakertagama. Alasan pembagian kerajaan dilukiskan Oleh Mpu Prapanca sebagai “Demikian lah sejarah Jawa menurut tutur yang dipercaya. Kisah JenggalaNata di Kahuripan dan Sri Nata Kahuripan di Dhaha (Kediri). Waktu bumi Jawa di belah karena cintanya pada kedua putranya.
Sedangkan sosok tokoh pelaksana pembagian itu, Mpu Bharada, dilukiskan sebagai berikut: Mpu Bharada nama beliau, adalah pendeta Budha Mahayana yang telah putus ilmu Tantrayananya, bersemedi di lemah Tulis gunumg Prawito (penanggungan). Ia dikenal sebagai pelindung rakyat dan kemana-mana selalu jalan kaki.
Kemudian Mpu Prapanca juga mencatat proses pembagian kerajaan itu sebagai berikut: Beliau menyanggupi permintaan Raja untuk membelah kerajaan. Tapal batas dua bakal kerajaan itu di tandai dengan kucuran air dari kendi yang dibawanya terbang ke langit.
Dalam kitab ini Mpu Prapanca juga menuliskan sebuah peristiwa kecil yang menimpa Mpu Bharada dalam pekerjaannya: Turun dari langit sang Mpu berhenti di bawah pohon Asam. Kendi Suci di taruh di desa Palungan (sekarang wilayah Gempol). Karena jubahnya tersangkut pohon Asam, marahlan sang Mpu, dan beliau mengutuk pohon Asam itu kerdil untuk selamanya.
Air kucuran kendi itu membuat garis demarkasi untuk kedua kerajaan. Mengenai garis itu Negara Kertagama menulis: Tapal batas Negara adalah Gunung Kawi sampai dengan aliran sungai Poro (Poro : porong, jawa kawi ; dibagi). Itulah tugu gaib yang tidak bisa mereka lalui. Maka dibangunkah Candi Belahan (Sumber Tetek) sebagai prasasti di belahnya Kahuripan. Semoga Baginda tetap teguh, tegak dan berjaya dalam memimpin Negara.
Airlangga turun tahta setelah pembelahan Kahuripan. Dua kerajaan baru yang berdiri di atas Kahuripan telah dipimpin oleh putra-putranya. Seperti adat leluhurnya, ia pun lengser keprabon madeg mandita (turun tahta dan hidup seperti pendeta).
Dalam upayanya meninggalkan keduniawian ini ia memilih Gunung Penanggungan dan Gunung Arjuna. Selain meninggalkan tahta, ia juga menanggalkan gelarnya. Sebagai gantinya Airlangga menggunakan nama-nama yang menunjukkan kesiapannya menuju samsara.
Di Gunung Penanggungan Airlangga dikenal sebagai Resi Jatinindra dan di Gunung Arjuna ia dimemakai nama Begawan Mintaraga. Selain itu Airlangga juga dikenal sebagai Resi Gentayu, sebuah ungkapan yang berasal dari kata Jatayu (burung Garuda yang menyelamatkan Sintha dalam epos Ramayana). Tujuh tahun kemudian (1049 M) Airlangga wafat. Jenazahnya diperabukan di Candi Belahan (Sumber Tetek) disana ia diarcakan sebagai Wisnu yang menunggang garuda. Arca itu di sebut Garudamukha. ***
BAB 2
PASAR BESAR BERNAMA JENGGALA
Dibandingkan Dhaha, faktor ekonomi Kerajaan Jenggala tumbuh sangat pesat. Jenggala menguasai sungai-sungai bermuara termasuk Bandar dagang di Sungai Porong memberikan income yang besar bagi kerajaan. Selain itu juga membuat Jenggala lebih di kenal oleh manca Negara karena Bandar dagang peninggalan Airlangga ini (berdasarkan catatan kerajaan China) adalah Bandar dagang kedua terbesar dan ramai setelah Sriwijaya.
Tetapi Bandar dagang ini juga menjadi bibit perselisihan dengan Dhaha yang hanya menguasai sungai tanpa muara. Sebab bagi Dhaha sangat tergantung dengan hasil Agrokultur ini tidak mempunyai pasar yang cukup memadai bagi hasil buminya, karena pasar besar adalah Jenggala.
Kata Jenggala di percaya berasal dari ucapan salah untuk Ujung Galuh. Walaupun saat ini Ujung Galuh lebih menunjukkan suatu tempat di Surabaya atau Tuban. Tetapi untuk hubungan kalimat Jenggala dengan Ujung Galuh bisadilihat dari catatan Pedagang China yang menuliskan Jenggala dengan Jung-ga-luh. Misalnya pedagang Chou ku fei yang datang pada tahun 982 Saka (1060 M) menuliskan: Negara asing yang merupakan lumbung padi terbesar saat itu adalah Jung-ga-luh (Jenggala) dan San-fo-tsi (Sriwijaya).
Raja-raja Jenggala di antaranya Lembu Amiluhung (Sri Jayantaka). Sri Jayantaka adalah putra Airlangga dari selir. Ia mulaimemerintah di Jenggala mulai tahun 1042 M. Pada masa pemerintahannya, Jenggala mengalami jaman keemasan sekaligus jaman kecemasan.
Dikatakan jaman keemasan karena pada masa itu Jenggala mengalami pertumbuhan ekonomi yang tinggi dari hasil Bandar Dagang Porong. Sementara dilain pihak Jenggala juga di cemaskan oleh ancaman serangan oleh Dhaha bila Bandar dagang itu tidak diserahkan ke Dhaha. Kecemasan itu cukup beralasan mengingat kekuatan militer Dhaha lebih kuat dari pada Jenggala.
Raja lainnya adalah Sri Maharaja Mapanji Garasakan (1044 - 1052). Pada masa pemerintahan Mapanji Garasakan, kerajaan Jenggala mengalami kemunduran akibat serangan dari Dhaha yang saat itu diperintah oleh Kameswara 1 (Inu Kertapati). Karena serangan itu pusat kerajaan Jenggala di tarik lebih ke Utara, diperkirakan sekarang berada di daerah Lamongan.
Bukti perpindahan pusat kerajaan itu dapat dilihat pada Prasasti Kembang Putih, Malengga yang ditemukan di daerah Tuban. Pada periode selanjutnya kerajaan Jenggala beribukota di Lamongan.
Tibalah Mapanji Alanjung Ahyes berkuasa (1052 - 1059). Jenggala di bawah Mapanji Alanjung Ahyes tetap berpusat di Lamongan. Pada masa pemerintahannya sering di lancarakan serangan secara sporadis kepada pendudukan Dhaha.
Sri Samarotsaha adalah raja Jenggala terakhir sebelum kerajaan itu hilang dari pengamatan sejarah. Pusat kerajaan tetap di daerah Lamongan. Setalah tahun 1059 keberadaan Jenggala seperti hilang di telan bumi.
Batas kerajaan Jenggala adalah sesuai dengan batas Kerajaan Kahuripan sebelah utara. Dalam hal ini batas daerah kekuasaan Jenggala meliputi Timur (Bali), Tenggara (Pasuruan), Barat daya (Kudus)
“Jenggala di Sidoarjo?”
Sebenarnya dalam proses penulisan sejarah Jenggala kita akan terbentur pada pertanyaan, Dimanakah letak kraton Kerajaan Jenggala? Apakah di Sidoarjo ataukah di kota lain ? Sebab ada beberapa fakta yang mendukung rentetan pertanyaan itu.
Di antara pertanyaan itu; Satu, belum ditemukannya situs-situs sejarah yang menyatakan kraton Jenggala berada di Sidoarjo. Kedua, tidak adanya pernyataan dari kitab-kitab kuno bahwa kraton Jenggala ada di Sidoarjo. Ketiga, adanya klaim dari beberapa tempat diluar daerah Sidoarjo yang menyatakan sebagai kraton Jenggala, misalnya Prasasti Kembang putih yang ditemukan di Lamongan.
Sebagai sebuah catatan : istilah Jenggala pada awalnya adalah untuk menunjukkan sebuah tempat, Ujung Galuh, dan baru dipakai menjadi nama kerajaan setelah peristiwa pembelahan Kahuripan.
Untuk menentukan di mana letak kutaraja (kraton) Jenggala, tulisan ini menggunakan masa pemerintahan Sri jayantaka sebagai rujukan, yang mana kraton Jenggala ditempatkan di wilayah Sidoarjo.
Adapun pertimbangannya adalah karena pada masa Sri Jayantaka yang Cuma tiga tahun itu, kerajaan Jenggala masih merupakan sebuah struktur pemerintahan yang otonom dan aktif. Artinya Jenggala pada waktu itu masih punya wilayah, pusat pemerintahan, pusat militer, fasilitas umum dan masih memegang kendali perkembangan Bandar dagang di sungai Porong.
Sedangkan untuk masa setelah Sri Jayantaka, Jenggala lebih berbentuk komunitas-komunitas kecil yang tersebar di beberapa daerah di Jawa Timur. Termasuk juga pada pemerintahan Mapanji Garasakan dan Alanjung ayes yang masih memimpin perlawanan terhadap Kediri secara sporadis.
Selain merujuk pada masa pemerintahan Sri Jayantaka, fakta lain yang menunjukkan hubungan Sidoarjo dengan Jenggala adalah; Pertama, sebuah tulisan dari Kitab Negarakertagama yang menceritakan perjalanan dinas Hayam Wuruk untuk meninjau tiga daerah yang berdekatan yaitu Jenggala, Surabaya dan Bawean. Adapun kalimat dalam kitab tersebut adalah: Yen ring Jenggala ki sabha nrpati ring Curabhaya melulus mare Buwun (Jika raja berada di Jenggala, beliau pasti mengunjungi Surabaya sebelum ke Bawean).
Kedua, pada masa pemerintahan Mataram, wilayah Sidoarjo masih di sebut Jenggala. contohnya kawedanan di Sidoarjo diistilahkan Jenggala 1, Jenggala 2 dan seterusnya. Dengan beberapa fakta di atas bisa dikatakan bahwa kraton Jenggala pada mulanya ada wilayah Sidoarjo. Pertanyaan selanjutnya adalah di wilayah Sidoarjo sebelah manakah kraton Jenggala berdiri ? Ada beberapa pendapat yang berlainan mengenai keberadaan kraton Jenggala. tulisan ini hanya menghimpun pendapat-pendapat itu.
Menurut buku sejarah Sidoarjo yang di himpun PAPENSE (Panitia Penggalian Sejarah Sidoarjo, tahun 1970), letak kraton dari Jenggala berada di sekitar sungai Pepe. Hal ini dibuktikan dengan penemuan beberapa arca di lokasi itu. Pada saat ini lokasi yang diyakini kraton Jenggala itu berada di wilayah Kecamatan Gedangan.
Lain halnya dengan Totok Widiardi yang menyatakan bahwa kraton Jenggala berada di sekitar alun-alun. Tepatnya berada di lokasi yang kini menjadi rumah dinas Bupati Sidoarjo. Pendapat ini mendasarkan bukti tentang adanya patung katak raksasa dan arca Bathara Ismaya (Semar) yang masih berada di sana hingga tahun 1975.
Sampai saat ini kepastian di mana persis nya posisi kraton Jenggala masih misterius. Karena selain tidak adanya penelitian untuk itu juga belum ditemukannya situs purbakala yang menunjukkan bekas Kraton Jenggala. Di tambah lagi tidak adanya kitab-kitab peninggalan Jenggala.
“Pusat-Pusat Militer”
Sebenarnya kurang tepat bila disebut pusat militer, karena sebenarnya konsentrasi militer Jenggala (yang bisa terlacak saat ini) lebih bertujuan mengamankan Kutaraja (kraton) Jenggala.
Adapun pusat militer Jenggala dibagi dalam beberapa sektor-sektor sebagai berikut: sektor utara; kondisi geografis muara sungai Brantas memecah menjadi 9 sungai, yaitu : Krembangan, Mas, Pegirian, Greges, Anak, Bokor, Pecekan, Anda dan Palaca. Kesembilan sungai itu membentuk rawa dan delta-delta. Batas paling Selatan dari muara Brantas ada di Wonokrmo, begitu juga garis pantai selat Madura.
Di sebelah Utara, militer Jenggala terpusat di daerah Wonokromo, Surabaya. Mengingat garis pantai pada saat itu adalah Wonokromo. Tujuan penempatan militer di posisi ini adalah untuk menghadang musuh dari utara. Selain itu juga berfungsi untuk mengawasi orang-orang hukuman (straafkoloni) yang di Surabaya. Perlu diketahui bila Surabaya mulai jaman Mataram Hindu (abad 9) sudah menjadi semacam “Nusa Kambangan” bagi para orang buangan. Komunitas perantaian yang di buang di situ terdiri dari narapidana, orang gila, cacat mental, cacat jasmani, tawanan perang dan perampok.
Di sektor tengah pusat militer Janggala diperkirakan berada di daerah Larangan (sekarang wilayah Kecamatan Candi). Peristiwa yang mendukung perkiraan itu adalah penemuan beberapa benda purbakala pada saat penggalian pondasi untuk Pasar Larangan yang terjadi di tahun 1980-an. Benda-benda purbakala itu berbentuk Binggal (gelang lengan), pedang, perhiasan dan rompi perang. Dari penemuan benda-benda keprajuritan itu beberapa orang sejarahwan menyimpulkan bahwa daerah Larangan dulunya merupakan komplek militer Jenggala. Walau pun hal itu harus dibuktikan dengan penelitian yang lebih lanjut, tetapi setidaknya akan membantu kita merekonstruksi komplek kraton Jenggala.
Di sebelah Selatan Jenggala menempatkan Miiternya di daerah Gempol. Tentu saja hal ini di maksudkan untuk melindungi asset ekonomi kerajaan Jenggala yaitu Bandar dagang Porong. Karena bagaimana pun juga bandar dagang ini merupakan keuntungan geografis yang menyumbang income terbesar bagi dana kerajaan. Selain itu juga dimaksudkan untuk mempertahankan Kutaraja dari serangan musuh yang datang dari selatan, terutama Kediri yang terang-terangan menuntut hak kepemilikan bandar dagang di Porong.
Beberapa pusat aktifitas Jenggala lainnya di antaranya diperkirakan dari proses persamaan kata (lingua franca). Dari proses persamaan kata ini, kita akan mendapati beberapa fakta bahwa pusat IPTEK Kerajaan Jenggala diperkirakan di kawasan kecamatan Taman. Tempat rekreasi bagi bagi putra-putri kerajaan diperkirakan di daerah Tropodo. Sementara itu Perpustakaan Kerajaan Jenggala (dalam sebuah riwayat di sebut Gedung Simpen) berada di Desa Entalsewu, Kecamatan Buduran. Sebuah sumber menyatakan lokasi perpustakaan ini berdasarkan lingua franca, kata Ental dengan TAL. Tal adalah sejenis pohon yang daunnya digunakan menjadi alat tulis-menulis, adapun daun pohon Tal secara jamak disebut RONTAL (Ron; daun, Tal; pohon Tal).
Sedangkan kata sewu (seribu) dibelakangnya lebih menunjukkan jumlah yang banyak. Menurut sumber itu TAL SEWU berarti menunjukkan jumlah naskah-naskah yang banyak di sebuah tempat.
Masih berdasar lingua franca, pusat religi dan spiritual Jenggala diperkirakan berada di kawasan Buduran. Sebuah sumber mengkaitkan ini dengan kata Budur yang dalam Sansekerta berarti Biara. Kata Budur yang berarti biara ini bisa kita lihat dari kata Borobudur yang berarti biara yang tinggi (Boro: tinggi, Budur: Biara). Bila kata Budur ber-lingua franca dengan biara, maka Buduran berarti sebuah komplek berkumpulnya satu atau lebih biara. Dengan kata lain Kecamatan Buduran di masa Jenggala adalah pemukiman bagi pemuka-pemuka agama.
“Pusat Bisnis: Bandar Sungai Porong”
Pada masa pemerintahan Sri Jayantaka, bandar dagang di Porong sedang dalam puncaknya. Konon bandar dagang ini dikatakan terbesar kedua setelah Sriwijaya. Banyaknya orang-orang asing yang berdagang semakin menunjukkan bandar dagang ini diperhitungkan di dunia internasional. Boleh jadi lahirnya bandar dagang ini merupakan babak baru bagi perjalanan sejarah Jawa.
Pada awalnya, kerajaan di Jawa bersifat agraris dan berada di lereng-lereng gunung. Segala aktifitas pemerintahan banyak dilakukan di sana. Tingkat interaksi dengan dunia luar tidak secepat Sriwijaya. Dengan keberadaan bandar dagang ini secara tidak langsung memindahkan kerajaan gunung ke kerajaan Pantai. Merubah budaya agraris dengan budaya merkantilis (perdagangan).
Ada dua orang dari negeri Cina yang sempat mencatat keberadaan Bandar dagang Porong. Menurut Chou Yu Kua, Bandar dagang di Porong merupakan sebuah pelabuhan yang besar dengan pajak murah dan kantor-kantor dagang yang berjejer dengan suasana yang menyenangkan. Kantor-kantor dagang itu mengurusi palawija, emas, gading, perak dan kerajinan tangan yang selalu disenangi dan dikagumi orang Ta-shi (Arab). Pusat perdagangan berada di tempat yang bernama Yeo-thong (Jedong, sekarang wilayah Ngoro). Di belakangnya ada gunung dengan sembilan puncak yang selalu diselimuti kabut tebal. Gunung yang bernama Pau-lian-an (Penanggungan) itu menjadi pedoman navigasi kapal yang akan masuk pelabuhan Porong.
Chou Ku Fei, seorang Pedagang, menuliskan kondisi subur tanah Jung-ga-luh (Jenggala) yang banyak dikelilingi sungai-sungai besar yang tembus dampai di gunung Pau-lain-an (Penanggungan). Sedangkan Bandar dagang di Porong banyak didatangi oleh para pedagang dari Cina, Arika, Thailand, Ta-shi (Arab) yang mengimpor beras, kayu Cendana, Kayu Gaharu dan bunga-bunga kering seperti Kenanga dan Melati.
“Runtuhnya Jenggala”
Seperti yang telah dikemukakan bahwa Bandar dagang Porong merupakan sumber perselisihan yang mengarah pada pertumpahan darah. Sri Jayawarsa yang memerintah Kediri (Dhaha) menuntut kepada kerajaan Jenggala agar Bandar dagang di Porong diserahkan pada Dhaha. Tuntutan ini di tolak oleh Raja Jenggala yang mendasarkan pada hasil pembelahan Kahuripan di Jaman Airlangga. Atas jawaban ini raja Dhaha mengancam akan merebut Bandar dagang Porong dan menyerbu Jenggala dengan kekuatan militer. Patut diketahui dalam bidang militer Dhaha lebih unggul dari pada Jenggala. Karenanya dapat dipastikan bila terjadi perang maka Jenggala akan berada di pihak yang kalah.
Untuk menghindari terjadinya peperangan saudara ini, dan juga untuk agar Bandar dagang Porong dikuasai dua kerajaan, maka diusulkan untuk menggelar perkawinan antar dua putra mahkota. Dua orang itu adalah Inu Kertapati anak raja Jenggala, dan Dewi Sekartaji putri. Perkawinan ini diharapkan bisa mereda ketegangan antara Jenggala dan Dhaha.
Tetapi konsensus yang digagas itu kenyataannya tidak berjalan mulus. Walaupun Dewi Sekrataji sangat mencintai Inu Kertapati, tetapi Inu kertapati ternyata tidak mencintai sepupunya itu. Ia lebih memilih Dewi Anggaraini anak patih Jenggala. akibatnya ketegangan memuncak lagi. Kerajaan Dhaha kembali mengancam akan membumi hanguskan Jenggala bila perkawinan politik itu gagal. Oleh Kecemasan akan serbuan Dhaha itu, raja Jenggala membuat kebijakan dengan membunuh Dewi Anggraini. Sehingga diharapkan perkawinan antara Inu Kertapati dan Dewi Sekartaji bisa berjalan Lancar.
Namun permasalahan tidak berhenti disini. Sedih karena kematian kekasihnya, Inu Kertapati diam-diam meninggalkan istana Jenggala. Ia pergi berkelana. Sedangkan Dewi Sekartaji yang merasa malu karena Inu Kertapati lebih mencintai oranglain juga melakukan hal yang serupa. Sekartaji (atau juga disebut Galih Candra Kirana) meninggalkan Dhaha.
Dari perjalanan ini pula timbul sebuah legenda Jawa yang terkenal sampai sekarang, Ande-ande lumut. Dimana dalam cerita itu Inu Kertapati di simbolkan sebagai Ande-ande Lumut, seorang jejaka anak pungut Mbok Rondo Dadapan yang membuat hati para gadis takluk. Sedangkan Dewi Sekartaji disimbolkan sebagai Klenting Kuning, seorang anak pungut yang disia-siakan saudara dan ibu tirinya, tetapi pada akhirnya ia yang dipilih Ande-ande lumut menjadi istri.
Perjalanan kedua putra mahkota ini juga di tulis oleh Mpu Dharmaja, seorang pujangga Dhaha, dalam kekawin Asmaradahana pada pemerintahan Kameswara1.
Kemudian mereka melaksanakan pernikahan di Dhaha dan Inu Kertapati Marak dinobatkan menjadi Raja Dhaha dengan gelar Kamesywara 1 (1115-1130), bergelar Sri maharaja rake sirikan sri Kameswara Sakalabhuwanatustikarana Sarwwaniwaryyawiryya Parakrama Digjayottunggadewa, lencana kerajaan berbentuk tengkorak bertaring yang disebut Chandrakapala, dan adanya mpu Dharmaja yang telah menggubah kitab Asmaradahana (berisi pujian yang mengatakan raja adalah titisan dewa Kama, ibukota kerajaan bernama Dahana yang dikagumi keindahannya oleh seluruh dunia, permaisuri yang sangat cantik bernama Dewi Candhra Kirana). Mereka dalam kesusasteraan Jawa terkenal dalam cerita Panji. Dengan dinobatkannya Inu Kertapati sebagai Raja Dhaha maka kerajaan Jenggala dan Dhaha disatukan. Peristiwa ini terjadi pada tahun 1045 M. Terhitung dari tahun ini Jenggala sebagai kerajaan Besar pelan-pelan menutup buku sejarah.
“Kemana Perginya Pelarian Jenggala?”
Dengan diangkatnya Inu Kertapati menjadi raja di Dhaha, maka secara tidak langsung wilayah Kahuripan yang sebelumnya terpecah dapat disatukan lagi. Hanya saja wilayah itu tidak dibawah bendera Jenggala tetapi bendera Kerajaan Dhaha. Bisa dikatakan bahwa pada saat itu Kerajaan Jenggala mulai surut. Raja-raja Jenggala setalah Sri Jayantaka menarik Kerajaan lebih ke jauh di Utara.
Sejarah masih bisa melacak keberadaan Jenggala hingga tahun 1059, peristiwa ini bisa dilihat dari prasasti Kembang Putih di Lamongan. Prasasti ini menulisakn bahwa kraton Jenggala berada di sebelah utara sungai Lanang. Kraton ini berada di sana sampai dengan pemerintahan raja Jenggala terakhir Sri Samarattongga. setelah itu Jenggala hilang dari panggung sejarah. Sampai saat ini masih belum didapat sebuah sumber yang menjelaskan secara tepat perginya orang Jenggala setelah 1059. Apakah mereka dari raja hingga rakyatnya habis ditumpas bala tentara Dhaha ataukah orang-orang Jenggala itu hijrah ke tempat lain?
“Sebuah Mitologi Candi Pari”
Salah satu cagar budaya yang bisa dikatakan utuh sampai sekarang adalah Candi Pari. Candi yang terletak di kecamatan Porong ini di bangun pada jaman Majapahit atau seperti yang tertulis pada 1293 C (1371 M ). Candi Pari yang terletak di ketinggian 4,42 meter di atas permukaan air laut ini memiliki area luas mencapai 1310 meter persegi. Sementara bangunan induknya terletak di sisi timur area.
Ada dua versi cerita tentang Candi Pari yang saling bertolak belakang. Di satu versi Candi Pari di sebut sebagai bangunan persembahan untuk Ratu Campa, atau lebih tepatnya sebagai tempat persinggahan sang ratu bila ingin mengunjungi saudaranya di Majapahit.
Sedangkan di versi kedua, Candi Pari menjadi simbol pembangkangan rakyat sekitar candi terhadap penarikan upeti dari Majapahit yang saat itu diperintah Hayam Wuruk (Rajasa Negara). Menurut versi ini kondisi daerah di Candi Pari adalah hutan rimba. Adalah Jaka Pandelegan (konon masih anak Prabu Brawijaya dari perselingkuhannya dengan seorang gadis desa bernama Ni Jinjingan) yang berjasa menyulap daerah hutan menjadi daerah pertanian yang makmur. Kemakmuran itu membuat Majapahit menuntut upeti dengan jumlah yang tinggi. Jaka Pandelegan yang merasa tidak berhutang budi dengan Majapahit menolak tuntutan itu.
Hasil pertanian tidak diserahkan ke Majapahit tetapi untuk kepentingan masyarakat di daerah itu. Majapahit yang sedang jaya itu menganggap sikap Jaka Pandelegan sebagai tantangan terhadap bala tentaranya. Untuk itu Majapahit kemudian mengirim pasukan untuk menangkap dan menghukum Jaka Pandelegan.
Singkat cerita pasukan itu sampai di desa Jaka Pandelegan. Mereka bergerak cepat untuk menangkap tokoh yang dianggap pembangkang itu. Jaka Pandelegan lari menghindari tangkapan prajurit Majapahit dan melompat di tumpukan padi, di sana ia muksa.
Merasa tidak bisa menangkapnya, prajurit Majapahit bergerak untuk menangkap istri Jaka Pandelegan yang bernama Nyi Walang Angin. Sama dengan suaminya, wanita itu berlari dan menceburkan diri di sebuah sumur di sebelah selatan tumpukan padi itu, disana ia juga tidak pernah ditemukan. Untuk mengenang suami istri yang berjasa pada daerah itu maka didirikanlah Candi Pari di bekas tumpukan Padi dan Candi Sumur di daerah itu.
Seperti yang telah diutarakan di atas bahwa kedua versi itu saling bertolak belakang. Salah satu versi melambangkan Candi Pari sebagai persembahan bagi penguasa, sedangkan versi satunya menjadikan Candi Pari sebagai simbol bagi perlawanan terhadap penguasa. Walaupun berbeda setidaknya kedua versi itu akan saling melengkapi, apalagi jika mau kita menggali, mengumpulkan dan mendokumentasi kejadian masa lampau. ***
BAB 3
KERIS PEMBERONTAKAN
SANG ADIPATI
Umpama Adipati Jayenggrana pejabat yang “sendiko dawuh” pada Sri Sunan Pakubuwono dan Belanda, bisa jadi Sidoarjo masih berada di wilayah administrasi Surabaya dan masih bernama Sidokare. Tetapi karena sang Adipati memilih mengambil jarak dengan dua penguasa itu, maka ia terbunuh di usia muda.
Dengan terbunuhnya Jayenggrana Belanda memecah wilayah Surabaya. Dan salah satunya pecahannya berbentuk kabupten Sidoarjo. Kelahiran “jabang bayi” Sidoarjo tidak butuh jalan yang berpilin. Cukup dengan dua lembar surat keputusan Belanda.
Satu surat untuk menyatakan sebagai Kabupaten dan surat lain untuk mengubah nama dari Sidokare menjadi Sidoarjo. Untuk memerintah kabupaten baru ini diangkatlah Notopuro (R.T.P Tjokronegoro) yang berasal dari Kasepuhan Surabaya sebagai Bupati pertama.
Sidoarjo merupakan basis ekonomi pertanian yang sangat kuat. Terbukti dengan beberapa pabrik gula dan beberapa jalur rel kereta api di Sidoarjo. Keberadaan pabrik gula ini memang membuat Sidoarjo sebagai kekuatan ekonomi, tetapi juga menyisakan permasalahan yang berbuntut perlawanan dari penduduk Sidoarjo.
Akhir abad ke 17 Surabaya menjadi kadipaten yang mempunyai wilayah kekuasaan yang luas. Pada waktu itu kadipaten ini mencakup daerah Pasuruan, Madura, sebagian Kalimantan bagian selatan, Sedayu, Bojonegoro dan Sidoarjo (yang pada saat itu bernama kawedanan Sidokare).
Secara administratif Surabaya berada di bawah kekuasaan Kasunanan Surakarta Hadinigrat. Seperti yang telah diketahui setelah perjanjian Giyanti, pulau Jawa dikuasai oleh dua kerajaan besar yang dalam istilah Belanda di sebut Vorstenlanden. Masing-masing adalah Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta.
Surabaya adalah kota yang penuh dengan catatan-catatan pemberontakan. Dan hampir semua pemberontakan itu padam setelah pemimpinnya terbunuh atau dibunuh. Sebut saja pemberontakan Pangeran Pekik (Adipati Surabaya yang diangkat Mataram), pada tahun 1625 Surabaya ditaklukkan Mataram yang pada waktu itu di perintah Amangkurat 1.
Penaklukan ini dilakukan sebagai hukuman terhadap Pangeran Pekik yang dianggap ingin mendirikan Surabaya menjadi daerah yang otonom dari Mataram dan Belanda. Pemberontakan selanjutnya adalah Trunojoyo seorang pangeran dari Madura. Dalam proses pemberontakannya Trunojoyo berhasil mengendalikan dan menguasai daerah pesisir utara sampai dengan lereng Kelud. Semua pemberontakan itu mengarahkan taringnya pada Kasunanan Solo yang dianggap lemah terhadap Belanda.
Pemberontakan-pemberontakan ini tidak berasal dari kalangan borjuis saja, pada tahun 1671 Untung Soerapati, seorang kebanyakan, melakukan pembangkangan dengan mengobarkan perang dari Pasuruan.
Untung Surapati ini bisa dikatakan berhasil dari pada pemberontakan sebelumnya. Karena ia tidak saja mampu bertahan lama (1686 -1706) , tapi juga bisa mendirikan sebuah pemerintahan mandiri yang lepas dari pengaruh Surakarta dan Surabaya. Bahkan ia berhasil mengusir kedudukan Tumenggung Onggojoyo di Pasuruan di tahun 1686.
“Pembangkangan Adipati”
Adipati Jayenggrana adalah putra dari Onggowongso, Tumenggung Surabaya yang masih saudara kandung dari Tumenggung Onggojoyo di Pasuruan. Jayenggrana (atau juga di sebut Janggrana) selain merupakan cucu langsung dari Ki Ageng Brondong dan juga masih paman tokoh pemberontak Sawunggaling.
Sejak awal adipati muda ini mengambil jarak dengan pihak Keraton Kasuhunan Surakarta.Hal ini karena Sunan Paku Buwono bersikap lemah terhadap Belanda. Karenanya ia juga bersikap lemah kepada setiap pemberontakan yang ditujukan ke Surakarta. Ketika Untung Surapati mengamuk dan menguasai Pasuruan, Adipati Jayenggrana tidak ambil pusing, bahkan cenderung membiarkan. Juga ketika pemberontakan ini menguncang kedudukan Tumenggung Onggojoyo yang tak lain adalah paman dari Adipati Jayenggrana sendiri.
Sikap Adipati Jayenggrana yang non kooperatif ini membuat Belanda dan Kasuhunan kerepotan. Apalagi dengan lemahnya sikap Jayenggrana kepada pemberontakan Untung Surapati yang terang-terangan menantang kekuasaan Surakarta dan Belanda dengan mendirikan kerajaan di Pasuruan. Kedua pihak itu menganggapnya sebagai orang yang pantas disingkirkan.
Pada tahun 1706 pemberontakan Untung Surapati berakhir dengan tewasnya tokoh tersebut dalam perangan melawan Belanda di daerah Bangil. Dengan tumpasnya pemberontakan itu, tiga tahun kemudian, tepatnya pada 7 Februari 1709 Kompeni Belanda memaklumatkan dua tuntutan kepada Adipati Jayenggrana, yaitu; Pertama, Penyerahan kekuasaan atas daerah Wirosobo dan Japanan. Kedua, pencabutan hak atas daerah Sedayu dan Jipang (Bojonegoro).
Adipati Jayenggrono menolak dua tuntutan itu. Karena ia tahu tujuan dari Belanda adalah mempersempit daerah kekuasaan Surabaya atas wilayah-wilayah diatas. Karena dengan luasnya daerah Surabaya akan menimbulkan kesulitan bagi Belanda untuk mengontrolnya selain juga bertujuan memperkecil peran Adipati Jayenggrana secara politis. Penolakan ini dianggap sebagai sebuah pembangkangan terhadap Kasuhunan dan Belanda. Dengan demikian Belanda membariskan serdadunya untuk menggempur Surabaya.
Jika Belanda ingin menghukum Adipati Jayenggrana dengan kekerasan, tidak demikian dengan Keraton Surakarta. Karena jika memahami tipikal orang pesisir, penyikapan dengan kekerasan akan menimbulkan kekerasan baru. Pada tanggal 26 Februari 1709 Adipati Jayengrana di panggil untuk menghadap Sunan Pakubuwono.
Ternyata ini adalah taktik Kasuhunan untuk menyingkirkan Sang Adipati. Di kisahkan oleh Dukut Imam Widodo dalam buku Surabaya Tempo Doeloe, Adipati Jayenggrana memenuhi panggilan itu dengan berpakaian putih-putih dan berpengiringkan sekitar empat puluh orang saja. Sesampai di keraton, Adipati Jayenggrana memasuki keraton seorang diri setelah memerintahkan para pengiringnya menunggu di alun-alun.
Pada jam sembilan pagi saat Jayenggrana akan melintasi gerbang tiba-tiba muncul belasan perajurit Kasunanan yang mengepung dan menyerangnya hingga menemui ajal. Bersamaan dengan itu ratusan prajurit lain mengepung pengiring Jayenggrana yang ketahuan mulai beringas melihat junjungannya mati. Adipati Jayenggrana terbunuh pada usia 34 tahun. ***
BAB 4
JALAN LEMPANG KE SIDOARJO
Perjalanan Sidoarjo menjadi daerah yang mandiri tidak memerlukan proses yang berbelit. Sebagaimana diketahui, bahwa wilayah Surabaya sangat luas, bahkan sampai ke Pulau Kalimantan. Secara sederhana bisa dikatakan pembentukan Kabupaten Sidoarjo merupakan salah satu cara untuk mempermudah pengawasan terhadap Kabupaten Surabaya setelah pemberontakan Adipati Jayengrana. Dengan penyempitan area Surabaya maka Sidoarjo tidak lagi menjadi bagian Kabupaten Surabaya.
Pada awalnya kota ini bernama Sidokare yang dipimpin oleh seorang patih bernama R. Ng. Djojohardjo, bertempat tinggal di kampung Pucang Anom. Patih ini dibantu oleh seorang wedana yaitu Bagus Ranuwiryo yang berdiam di kampung Panggabahan pada tahun 1851. Pada saat itu Sidokare masih merupakan daerah bagian dari Kabupaten Surabaya.
Untuk membagi daerah Surabaya yang begitu luas, maka pada tahun 1859 pemerintah Belanda menjadi dua. Dasar hukum pembagian ini adalah Keputusan Pemerintah Hindia Belanda no. 9/1859 tanggal 31 Januari 1859 Staatsblad No. 6, yang menyatakan daerah Kadipaten Surabaya dibagi menjadi dua bagian yaitu Kabupaten Surabaya dan Kabupaten Sidokare.
Dengan demikian Kabupaten Sidokare tidak lagi menjadi daerah bagian dari Kabupaten Surabaya dan sejak itu mulai diangkat seorang Bupati utuk memimpin Kabupaten Sidokare yaitu R. Notopuro (R.T.P Tjokronegoro) berasal dari Kasepuhan. Dia adalah putera R.A.P Tjokronegoro Bupati Surabaya, dan bertempat tinggal di kampung Pandean atau juga di sebut Pekauman. Tetenger yang menandai masa pemerintahannya adalah dibangunnya masjid di Pekauman (Masjid Abror sekarang), sedang alun-alunnya pada waktu itu adalah Pasar Lama (sekarang Pertokoan Matahari Store).
Dalam tahun 1859 itu juga, dengan berdasarkan Surat Keputusan Pemerintah Hindia Belanda No. 10/1859 tanggal 28 Mei 1859 Staatsblad. 1859 nama Kabupaten Sidokare diganti dengan Kabupaten Sidoarjo.
Berdasarkan surat itu pula Kabupaten Sidoarjo dinyatakan terbentuk yaitu pada tanggal 28 Mei 1859 dengan R.Notopuro (R.T.P Tjokronegoro) sebagai bupati pertama.Batas wilayah nya sesuai dengan batas wilayah Sidoarjo yang sekaran yaitu Sebelah Timur (Selat Madura), Barat (Kabupaten Gresik), Utara (Kabupaten Surabaya) dan Selatan (Kabupaten Pasuruan).
Dalam bidang pemerintahan tersusun menjadi 6 Kawedanan (Distrik) yaitu: Kawedanan Gedangan, Kawedanan Sidoarjo, Kawedanan Krian, Kawedanan Taman Jenggolo, Kawedanan Porong Jenggolo, Kawedanan Bulang.
“Bupati Sidoarjo Era Kolonial”
Semula rumah Kabupaten di daerah kampung Pandean, kemudian Bupati Tjokronegoro I memindahkannya ke Kampung Pucang (Wates).
Adapun tetenger pemindahan ini adalah Masjid Jamik (Masjid Agung), Pesarean Pendem (Asri). Pada tahun 1862, beliau wafat setelah menderita sakit, dan dimakamkan di Pesarean Pendem (Asri).
Sebagai gantinya pada tahun 1863 diangkat kakak almarhum sebagai Bupati Sidoarjo, yaitu Bupati R.T.A.A Tjokronegoro II (Kanjeng Djimat Djokomono), pindahan dari Lamongan.
Pada masa pemerintahan Bupati Tjokronegoro II ini pembangunan pada era sebelumnya mendapat perhatian sangat besar antara lain, meneruskan pembangunan Masjid Jamik yang masih sangat sederhana, perbaikan terhadap Pesarean Pendem dan dibangunnya kampung Magersari.
Pada tahun 1883 Bupati Tjokronegoro pensiun. Pada tahun sama beliau wafat dan dimakamkan di Pesarean Botoputih Surabaya. Sebagai gantinya diangkat R.P Sumodiredjo pindahan dari Tulungagung tetapi hanya berjalan 3 bulan karena wafat pada tahun itu juga dan dimakamkan di Pesarean Pendem.
Sebagai gantinya diangkatlah R.A.A.T. Tjondronegoro I sebagai Bupati Sidoarjo. Pada masa pemerintahannya Masjid Jamik diperindah dengan pemasangan marmer.
Pembangunan ini dimulai hari Jum’at Kliwon tanggal 26 Muharrom 1313 H, bertepatan dengan tahun Wawu 1825 dan tanggal 19 Juli 1895. Bagi Pesarean para Bupati serta keluarganya, para penghulu dan segenap ahlul masjid ditetapkan di pekarangan Masjid Jamik (seperti yang kita saksikan sekarang).
“Sidoarjo di Masa Pancaroba Sejarah”
Pancaroba masa peralihan abad ke-19 ke abad ke-20 ialah ucapan yang lumrah diketengahkan dalam sejarah Sidoarjo, bahwa suatu jiwa zaman (zeitgeist) membentuk kepribadian seseorang dan kelompok masyarakat yang hidup di masa itu. Abad ke-20 bercirikan nasionalisme serta produk perkembangan-nya, yaitu negara nasion. Maka berbicara tentang Kabupaten Sidoarjo tidak lepas dari nasionalisme, dan sebaliknya perkembangan nasionalisme tidak dapat lepas dari peran kepemimpinan yang terjadi di Kabupaten Sidoarjo.
Beberapa dasawarsa menjelang tahun 1900, Sidoarjo mengalami perubahan ekonomi, sosial dan politik sebagai dampak modernisasi seperti pembangunan komunikasi. Antara lain kereta api, jalan raya, telepon, telegraf, industri pertanian dan pertambangan, edukasi dari sekolah rendah sampai pelbagai pengajaran profesi dalam kedokteran, teknologi pertanian dan lain sebagainya.
Tidak mengherankan apabila timbul peningkatan mobilitas, pendidikan profesi, ekonomi pasar serta ekonomi keuangan dan lain-lain. Kebingungan rakyat dalam menyikapi perubahan itu, menciptakan pada rakyat sejak kira-kira pertengahan abad ke-19 pandangan dunia, seperti gambaran kuno ialah datangnya Kaliyuga atau datangnya kiamat (apocalyps).
Kedatangan akhiring zaman ditandai antara lain oleh “Pulau Jawa sudah berkalung besi” atau adanya rel kereta api, anak yang sudah tahu nilai uang akibat adanya monetisasi, anak tidak lagi mematuhi kata orangtua, dan sebagainya. Adanya kebingungan berubahnya nilai-nilai, karangan pujangga terakhir Ranggawarsita maka dalam serat Kalatida menyatakan “Jamane jaman edan sing ora edan ora keduman… Begja begjane kang lali luwih begja kang eling lan waspada.”
Di sini zaman penuh perubahan nilai-nilai menimbulkan kebingungan, karena orang kehilangan pegangan sehingga kelakuannya serba aneh (seperti orang gila). Orang tidak jujur (korup) menjadi kaya dan yang jujur tidak menjadi kaya akan tetapi yang paling bahagia adalah orang yang tetap ingat (jujur) serta waspada.
Begitulah perubahan. Selalu menyisakan kegamangan, namun sekaligus menawarkan harapan akan lahirnya sesuatu yang baru. Nasionalisme, saat itu menjadi kata yang tiba-tiba menyedot perhatian publik. Sama dengan kata globalisasi di awal abad 21 saat ini.
Menurut H Kohn, nasionalisme adalah suatu state of mind and an act of consciousness. Jadi sejarah pergerakan nasional harus dianggap sebagai suatu history of idea. Dari pernyataan ini secara sosiologis, ide, fikiran, motif, kesadaran harus selalu dihubungkan dengan lingkungan yang konkrit dari situasi sosio-historis.
Pengertian lain dari nasionalisme dapat disebut sebagai social soul atau “mental masyarakat”, sejumlah perasaan dan ide-ide yang kabur”, dan sebagai a sense of belonging. Dan beberapa lagi, pengertian nasionalisme yang lain, yaitu merupakan produk atau antitese dari kolonialisme.
Dari berbagai pengertian di atas tidak terdapat perbedaan yang mendasar, justru menunjukkan persamaan, yaitu semuanya lebih bersifat sosio-psikologis. Ini berarti nasionalisme sebagai suatu bentuk respon yang bersifat sosio-psikologis tidak lahir dengan sendirinya. Akan tetapi lahir dari suatu respon secara psikologis, politis, dan ideologis terhadap peristiwa yang mendahului-nya, yaitu imperialisme atau kolonialisme.
Jika demikian halnya, maka awal terbentuknya nasionalisme lebih bersifat subjektif, karena lebih merupakan reaksi group consciousness, dan berbagai fakta mental lainnya. Dari sekian jumlah penggunaan istilah di atas, semuanya merupakan komponen-komponen keadaan jiwa dan pikiran yang tidak dijelaskan secara rinci perbedaannya. Dengan demikian, akan mengalami kesulitan dalam menggunakannya sebagai terminologi maupun konsep analitis untuk mencari struktur dan sifat-sifat nasionalisme itu sendiri.
Secara analitis, nasionalisme mempunyai tiga aspek yang dapat dibedakan, pertama aspek cognitif, yaitu menunjukkan adanya pengetahuan atau pengertian akan suatu situasi atau fenomena. Dalam hal ini adalah pengetahuan akan situasi kolonial pada segala porsinya aspek goal/value orientation, yaitu menunjukkan keadaan yang dianggap berharga oleh pelakunya.
Nah, yang dianggap sebagai tujuan atau hal yang berharga adalah, memperoleh hidup yang bebas dari kolonialisme; aspek affective dari tindakan kelompok menunjukkan situasi dengan pengaruhnya yang menyenangkan atau menyusahkan bagi pelakunya. Misalnya berbagai macam diskriminasi pada masyarakat kolonial melahirkan aspek affective tersebut. Apa yang terjadi di Sidoarjo saat itu? Tak lain kesadaran pribumi untuk merdeka, tidak berada di bawah tempurung kolonial, yang semakin menggelora. Para pelajar Sidoarjo mulai merumuskan impian baru tentang ruang hidup mereka. Para pedagang pribumi yang perannya semakin termarginalisasikan, mulai merasakan kesumpekan.
Berdirinya Boedi Oetomo, 1908, Sarekat Islam, NU, Muhammadiyah, Indische Partij, ISDV, PKI dan masih banyak lagi organisasi lain menjadi gairah baru bagi warga Sidoarjo untuk memilihnya sebagai payung rasa nasionalisme yang mereka miliki .
Bahkan di negeri Belanda pun para pelajar Indonesia membentuk Perhimpoenan Indonesia. Belanda menanggapi secara positif, dengan mengeluarkan Bestuurshervormingswet pada 1922, yang membuka peluang bagi pembentukan badan-badan pemerintahan baru dengan mengikut sertakan lebih banyak lagi keterlibatan bumiputera.
Memang, dari segi historis politik kolonial itu menghasilkan hominies novi atau manusia baru. Yaitu priyayi intelegensia yang akan berperan sebagai modernisator atau aktor intelektualis dalam profesionalisme teknologi bidang industri, pertanian, kedokteran, biroktasi, pendidikan, dan sebagainya.
Dalam menyebut pendidikan sebagai unsur politik kolonial, perlu diketengahkan Politik Etis pada awal abad ke-20 dengan trilogi pendidikan wanita, biaya pendidikan, dan pendidikan pada umumnya. Ini langkah pelaksanaan pidato Ratu Wilhelmina pada tahun 1901 serta merupakan perwujudan ekspresi dari edukasi, irigasi, dan emigrasi.
Pada akhir dekade pertama, saat itu dijumpai kultur baru di Sidoarjo, berupa life style tersendiri di tengah masyarakat. Ini sebagai imbas eksisnya kaum priyayi inteligensia serta pimpinan bangsawan atau kaum aristokrasi yang saat diwakili oleh organisasi Boedi Oetomo. Maka, selaras dengan kondisi itu sifat organisasi, gerakannya tidak mungkin radikal.
Sementara, kaum pedagang menengah dan penduduk kota sebagai anggota Muhammadiyah juga lebih bersifat moderat, sedang SI yang mencakup lapisan menengah sampai bawah terdiri atas aneka ragam golongan antara lain golongan petani, golongan pertukangan industrialis rumah tangga, serta pedagang kecil.
Ada pula penganut ideologi merupakan campuran antara gerakan tradisional dan setengah modern kota. Meskipun masih bercorak etnonasionalistis, namun saat itu ditengarai sudah ada komunikasi antara golongan bawah menengah dan atas.
Komunikasi semacam ini, sebenarnya tidak hanya terjadi di Sidoarjo. Kongres Jong Java pada 3-5 Oktober 1908 di Yogyakarta, adalah contohnya. Bagaimana semangat dan sikap kaum maju dalam akhir dekade pertama Indonesia saat itu, dapat diamati selama kongres tersebut. Sangat menonjol jenis nasionalisme pertemuan itu ialah etnosentrisme.
Berbagai golongan yang ada di Sidoarjo, antara lain golongan bangsawan, golongan aristokrasi, dokter, guru, siswa dari berbagai sekolah seakan menjadi satu dalam semangat yang sama. Ini semua memberikan makna, bahwa tidak lagi dipatuhi aturan feodal dan ada komunikasi lebih bebas.
Di sini, kita melihat tanda-tanda permulaan dari demokrasi. Dari substansi pembicaraan terbukti perhatian mereka luas, mencakup kesejahteraan kehidupan rakyat dan bagaimana mereka menyikapi kebudayaan Barat. Dalam skala nasional, peristiwa yang menarik adalah pidato Soetomo; dialog antara dokter Tjipto Mangunkoesoemo dan dokter Radjiman Wedyodiningrat.
Dokter Soetomo mengutarakan keadaan negerinya yang serba terbelakang di berbagai bidang, antara lain bidang kesehatan, pendidikan, pertanian, peternakan, perumahan, dan sebagainya.
Pidato itu mencakup berbagai segi kehidupan rakyat yang sangat komprehensif, tetapi tidak disinggung masalah politik, diskriminasi sosial dan serba tertinggal dalam tingkat pendidikan.
Sesuai dengan tingkat kepri-yayiannya, dokter Soetomo tidak melancarkan kritik terhadap pihak kolonial, masih jauh dari retorik serta diskusi yang diungkapkan Bung Karno. Sementara Dokter Tjipto Mangunkoesoemo lebih progresif. Bahwa kemajuan dapat dicapai dengan menerima dan menyikapi positif proses westernisasi terutama dalam segi teknologinya.
Sebagai visi alternatif, Dokter Radjiman Wedyodiningrat mengutarakan bahwa mungkin lebih baik tetap bersifat konservatif dalam menghadapi westernisasi. Bangsa Indonesia telah memiliki kultur atau peradaban sendiri, lebih-lebih dengan perbendaharaan yang cukup kaya raya, khususnya dalam hal ini pembicara merujuk kepada kesenian dan Kesusastraan Jawa. Radjiman lebih condong mempertahankan kebudayaannya sendiri serta berhati-hati dalam menerima kebudayaan Barat. Sedang dokter Tjipto Mangoenkoesoemo lebih cenderung menerima westernisasi terutama yang dimaksud bidang teknologi dan ilmu pengetahuan.
Rupanya, pada zaman itu kolonialisme semakin kuat sistem dominasinya sehubungan dengan ancaman Perang Dunia II serta ancaman ekspansi Jepang. Pidato-pidato Soekarno semakin lebih tegas menyerang kolonialisme dan imperialismenya negara Barat.
Nyatanya, nasionalisme Indonesia pada fase-fase perkembangannya merupakan reaksi sesuai dengan zeitgeist. Dalam menghadapi modernisasi lewat westernisasi oleh para kaum maju, jelas disadari bahwa tidak ada jalan lain daripada mengutamakan edukasi menurut sistem Barat. Berlangsunglah sistem pendidikan semacam itu di Jawa, dan juga Sidoarjo.
Mobilitas penduduk ini tidak bisa total ketika pemuda akhirnya mengetahui apa motif asli Jepang datang ke tanah air. 15 Agustus 1945, Jepang menyerah kepada sekutu. Sehingga Kaigun, Tentara Laut Jepang, yang berada di sekitar Delta Brantas pusatnya di ujung Surabaya, dengan sembunyi-sembunyi menyerahkan senjatanya kepada pemuda-pemuda kita.
Proklamasi dikumandangkan dwitungal Soekarno-Hatta. Yang patut dicacat adalah bulan-bulan berat dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia, yaitu ketika Belanda yang membonceng kedatangan Sekutu kembali menduduki Sidoarjo.
Sepenggal kisah yang tercatat, ketika Belanda sampai di kawasan Gedangan, Bupati memindahkan tempat pemerintahan kabupaten ke Porong. Hingga 24 Desember 1946, Belanda benar-benar menyerang kota dari jurusan Tulangan. Dalam hitungan jam, Sidoarjo jatuh ketangan Belanda. Segenap jajaran pemerintahan Kabupaten Sidoarjo terpaksa mengungsi ke sekitar Jombang.
Sejak saat itu, Sidoarjo dibawah pemerintahan Recomba. hingga tahun 1949. Di akhir tahun 1948, bukan saja karena Republik yang masih usia balita itu harus menghadapi musuh di depan (Belanda) tetapi juga ditusuk dari belakang oleh anak-bangsa sendiri, yaitu kelompok komunis (PKI) pimpinan Muso yang mendalangi peristiwa (kudeta) Madiun pada pertengahan September 1948.
Klimaksnya ialah terjadinya serangan (agresi) militer Belanda kedua pada 19 Desember 1948. Akibatnya nyaris fatal. Ibu kota Republik, Yogyakarta, diduduki Belanda, Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta beserta sejumlah menteri yang berada di ibu kota ditangkap.
Sejak itu, Belanda menganggap Republik sudah tamat riwayat-nya.Akan tetapi, kemenangan militernya itu hanya bersifat sementara. Walaupun ibu kota Yogya jatuh ke tangan Belanda, serta berhasil menawan Soekarno-Hatta dengan sejumlah menteri, nyatanya Republik tidak pernah bubar.
Suatu titik balik yang tak terduga oleh Belanda datang secara hampir serentak dari dua jurusan. Pertama, dari Yogya dan kedua dari Bukittinggi di Sumatera. Beberapa jam sebelum kejatuhan Yogya, sebuah sidang darurat kabinet berhasil mengambil keputusan historis yang amat penting: Presiden dan Wakil Presiden membe-rikan mandat Mr Sjafruddin Prawira-negara untuk membentuk Pemerintah-an Darurat RI di Sumatera.
Jika ikhtiar ini gagal, mandat diserahkan kepada Dr Soedarsono, Mr Maramis dan Palar untuk membentuk exile-government di New Delhi, India. Surat mandat tersebut kabarnya tidak sempat “dikawatkan” karena hubungan telekomunikasi keburu jatuh ke tangan Belanda. Namun, naskah-nya dalam bentuk ketikan sempat beredar di kalangan orang Republieken.
Kedua, sewaktu mengetahui via radio bahwa Yogya diserang, Mr Sjafruddin Prawiranegara waktu itu Menteri Kemakmuran yang sedang bertugas di Sumatera, segera mengumumkan berdirinya Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Bukittinggi.
Tindakannya itu mulanya bukan berdasarkan pada mandat yang dikirimkan Yogya, melainkan atas inisiatif spontan, Sjafruddin dengan pemimpin setempat, PDRI pada gilirannya dapat berperan sebagai pemerintah alternatif bagi Republik yang tengah menghadapi koma.
Sidoarjo pun menghadapi kondisi serupa. Namun, sebagaimana mereka yang jauh dari sentrum kekuasaan, di sini cuma bisa menunggu perkembangan. Perang tentu saja terjadi, yang mengubur darah segar para pribumi yang tiba-tiba jadi pejuang perbaik untuk bangsanya.
Pasca penyerahan kembali kedaulatan kepada Pemerintah Republik Indonesia, R. Soeriadi Kertosoeprojo menjabat sebagai Bupati. Entah mengapa, pada periode ini muncul ‘pemberontakan daerah’ yang dilakukan oleh bekas kepala desa Tromposari, Kecamatan Jabon, Imam Sidjono alias Malik.
Dia memobilisasi dukungan dengan mengajak lurah-lurah untuk menggulingkan bupati. Dengan senjata bekas kepunyaan KNIL, gerombolan ini berhasil menguasai Gempol, Bangil, hingga Pandaan. Mereka juga gigih mengadakan infiltrasi ke seluruh sudut kabupaten. Sekitar pertengahan Mei 1951, perlawanan Malik sedikit demi sedikit berhasil diredam setelah ia tertangkap di Bangil. Operasi kontinyu dari aparat, akhirnya berhasil menangkap para pengikut Malik hingga keamanan berangsur kondusif lagi.
“Dari Arak Api hingga Terpisahnya Anak-Isteri”
Manisnya gula tak semanis sejarahnya. Ada politik saling menelikung, ada pedihnya penderitaan petani tebu, dan ada senggol menyenggol kepentingan ekonomi. Sejarah berdirinya pabrik-pabrik gula di Sidoarjo, bak ungkapan tadi. Dinding-dinding tebal berlumut PG Watoetoelis, PG Toelangan, PG Kremboong dan PG Krian, menjadi saksi bisu, betapa kompleksnya persoalan di balik bulir-butir putih nan manis, yang melengkapi secangkir kopi, teh atau susu itu, agar rasanya membuat lidah bergoyang.
Memang pada akhirnya, kita hanya bisa tergagap. Betapa gemilangnya dunia pergulaan berubah meredup. Bill Guerin, kolomnis Asia Times, memaparkan bahwa saat ini, secara makro industri gula nasional telah hancur. Padahal, pada era kolonial, Jawa pernah mengalami masa keemasan bahkan termasuk terbesar kedua di dunia, setelah Kuba.
Analisis yang bernada kelakar, barangkali dikarenakan tanaman tebu gula atau suikerriet bukan tanaman asli Indonesia, sehingga tidak betah memberi kontribusi besar di tanah yang bukan kelahirannya. Namun, di negeri asalnya sendiri, India Timur dan Pasifik selatan, ternyata tebu juga tidak juga dijadikan idola yang menghasilkan kekayaan berlebih.
Baiklah, mari kita tengok sejarahnya. Konon, penyebaran tebu gula dimulai oleh para pedagang Tionghoa dan Arab yang berlayar hingga ke Jawa sekitar abad ke-8. Kala itu, air tebu merupakan barang mewah, yang konsumennya hanyalah segelintir elite yang memiliki privilege saja.
Sampai abad ke-15, masyarakat Jawa umumnya masih memakai jenis pemanis lain, seperti madu dan tanaman umbi-umbian. Hingga kemudian hadirnya tanaman kopi, teh dan coklat yang dibawa oleh kolonialis Portugis, Inggris, Spanyol dan Belanda maka air tebu menjadi kebutuhan pokok, sebagai pemanis minuman dari bahan tanaman itu.
Apalagi setelah orang-orang Tionghoa menemukan alat pengepres tebu yang kemudian ditiru prototipenya oleh Portugis dan Spanyol, yang berekspansi ke Hindia Barat dan Amerika Selatan. Sejak itulah gula muncul menjadi barang-dagangan yang dikonsumsi luas terutama di daratan Asia dan Eropa.
Perkembangan pengepresan tebu di Jawa, secara profesional dimulai di Batavia, pada awal abad ke-17 dengan pengelola warga Tionghoa. Sebuah buku yang secara sekilas mengupas kisah keberhasilan dagang kaum bermata bermata sipit ini adalah “Ni Hoe Kong Kapitein Tionghoa di Betawie dalem tahon 1740,” yang ditulis Hoetnik tahun 1923.
Syahdan, Ni Hoe Kong adalah orang kaya yang tinggal di sekitar Ommelanden, Batavia Selatan. Ia terpilih sebagai Kapitein Tionghoa di Batavia tahun 1740. Pengertian Kapitein dalam tulisan Hoetnik, barangkali semacam pemimpin sosial dan bukan gelar kepangkatan dalam bidang kemiliteran.
Saat itu, syarat seorang diangkat jadi Kapitein adalah kaya raya. Dan agaknya, di antara kalangan kongometat Tionghoa lainnya, Ni Hoe Kong termasuk yang paling pantas mendapatkan gelar itu. Ia adalah pemilik banyak tanah dan 14 penggilingan tebu, yang disewakannya ke warga Tionghoa yang lain.
Para konglomerat Tionghoa itu tidak lupa menggandeng para pejabat VOC yang juga pedagang besar. Mereka terlibat dalam membiayai penggilingan-penggilingan tebu ini. Bahkan, VOC mulai melakukan pengiriman gula Batavia sejak 1637 ke Eropa, dengan jumlah ekspor per tahun lebih dari 10.000 pikul. VOC biasanya membeli dari para Tionghoa, dengan harga setiap pikul antara empat hingga enam rijksdaalder tergantung kualitasnya.
The World’s Cane Sugar Industry Past & Present karya Geerligs, menjelaskan, bahwa sayangnya awal yang begitu baik ini tidak didukung kemampuan dalam melakukan kompetisi pasar. Ketika India, koloni Inggris, juga memasok gula ke Eropa, VOC surut dari percaturan perdagangan gula. Penggilingan yang aktif merosot menjadi hanya tinggal sepuluh buah pada tahun 1660.
Mundurnya VOC dari perdagangan gula ke Eropa, tidak serta merta mengendurkan semangat warga etnis Tionghoa. Mereka tetap gigih mengusahakan pengepresan gula, hingga tercatat pada tahun 1710 tercapai jumlah sekitar 130 buah penggilingan, dengan produksi rata-rata setiap penggilingan kurang lebih 300 pikul.
Meskipun demikian pada masa-masa selanjutnya terjadi pasang surut pada jumlah penggilingan maupun produksinya. Seperti dalam tahun 1745, terdapat 65 penggilingan sedang pada 1750 naik menjadi 80, dan di akhir abad ke-18 merosot tinggal 55 penggilingan yang memasok sekitar 100.000 pikul gula.
Wajar jika pertanyaan muncul, apa yang menyebabkan jumlah penggilingan di atas mengalami pasang-surut sangat drastis? Ada kemungkinan karena sederhananya penggilingan atau pengepres gula tersebut sehingga dapat dipindah-pindahkan.
Elson, dalam The Impact of Governement Sugar Cultivation in the Pasuruan Area, East Java, During the Cultivation System Period mengungkapkan, bentuk dan teknologi pengepres tebu ini, hanya terdiri dari dua buah selinder batu atau kayu yang diletakkan berhimpitan, dengan salah satu selinder diberi tonggak sedang pada ujung tonggak diikatkan ternak, atau digunakan tenaga manusia untuk memutar selinder.
Sementara itu pada salah satu sisi pengepres biasanya satu orang atau lebih memasokkan tebu. Kemudian hasil pengepresan dialirkan ke kuali besar yang terletak tepat di bawah selinder. Mudah pengoperasiannya dan dapat dipindah-pindahkan menurut kebutuhan. Di masa panen tebu, penggilingan-penggilingan ini akan dibawa menghampiri kebun yang sedang panen.
Sedang tenaga kerja yang digunakan penggilingan penggilingan Tionghoa ini, dikerahkan buruh-buruh etnis Tionghoa yang sangat banyak, dan buruh-buruh Jawa yang didatangkan dari karesidenan-karesidenan pesisir Utara Jawa Tengah, terutama dari Cirebon, Tegal dan Pekalongan.
Hoetink memperkirakan, dari segi politis, berlimpahnya populasi komunitas Tionghoa di sekitar Batavia ini belakangan membuat komunitas Eropa ketakutan. Sehingga di tahun 1740, terjadi ‘pembasmian’ orang-orang Tionghoa.
Ada dua dugaan tentang sebab-sebab merosot hingga berakhirnya penggilingan-penggilingan ini. Pertama, diajukan oleh Knight yang melihat bahwa, faktor-faktor ekologis cukup besar pengaruhnya sehingga menyebabkan keruntuhan industri gula Ommelanden.
Sebagaimana diketahui, dalam proses pemasakan gula sangat banyak diperlukan kayu bakar. Rupa-rupanya orang-orang Tionghoa, dalam periode hampir seabad, telah dengan sangat intensif, menggunduli pohon-pohon dan fertilitas dataran rendah Batavia.
Sedang dugaan lain dapat diikuti dari Geschiedenis van de suiker op Java atau Sejarah Gula di Jawa, yang memberi sepenggal informasi yang menyatakan bahwa penggilingan ommelanden sangat tergantung pada modal yang disediakan oleh Vereenigde Oost-Indische Compagnie.
Kumpeni begitu orang Jawa mengatakan, setiap tahunnya menyediakan dana untuk uang panjar atau persekot sebesar 8.000 gulden. Dan bantuan keuangan ini terhenti dengan terjadinya peperangan di Eropa yang dikomando Napoleon Bonaparte dari Prancis.
Kedua dugaan tersebut bisa jadi saling berkorelasi. Meskipun dugaan yang pertama akan sulit untuk dibuktikan, karena belum ada penelitian untuk mendukung pendapat tersebut. Sedang pendapat kedua mungkin lebih mendekati kebenaran. Sebab berhentinya penggilingan-penggilingan Tionghoa ini juga bersamaan waktunya ketika VOC bubar di akhir abad 18.
Namun demikian, bagaimanapun juga, gula atau sirup tetap menjadi barang-dagangan yang dikonsumsi oleh masyarakat Eropa yang bermukim sementara waktu di Jawa dan pesisir Asia Tenggara dan Timur.
Karena, selain gula dipergunakan sebagai pencampur minuman kopi, coklat dan teh, tetes atau gula kental pun dapat diolah melalui fermentasi tertentu, diubah menjadi arak atau rum. Sehingga, meskipun industri ommelanden runtuh di akhir abad 18, tidak mematikan bisnis penggilingan gula yang mulai muncul di tempat-tempat lain.
Arak dan rum menjadi hampir separuh produksi ommelanden. Setelah industri gula Batavia ini runtuh, produksi arak dilanjutkan oleh para pedagang-besar Inggris pada perkebunan Pamanukan-Ciasem, Jawa Barat.
Dalam tahun 1820-an, dua buah penggilingan milik Tionghoa yang berada di Karesidenan Pekalongan, yang memproduksi sekitar 1800 pikul gula setiap tahunnya, mengirimkan empat per lima produksi tetes-nya atau sekitar 1.440 pikul ke Batavia dan Semarang untuk disuling menjadi rum.
Penyulingan rum menyurut dengan runtuhnya industri gula yang dikelola para pedagang besar Inggris di akhir 1820-an. Raffles dalam The history of Java tahun 1817, bahkan pernah memuji arak buatan Jawa. Ia mensejajarkan arak Jawa dengan arak buatan Filipina. Disebutkannya, bahwa arak nomor satu produksi Jawa terkenal dengan julukan arak api.
Pada kurun cultuurstelsel, arak hanya diproduksi oleh beberapa pabrik, antara lain Wonopringo, Pekalongan. Menurut Geerligs, merosotnya produksi rum dan arak, karena dianggap telah tidak menguntungkan untuk dijual. Di Eropa produksi rum dan arak sangat melimpah, sehingga harganya merosot.
Gula masih tetap diproduksi oleh orang-orang Tionghoa di sepanjang karesidenan-karesidenan pesisir Utara Jawa Tengah dan Jawa Timur atau Oosthoek. Namun, kedudukan para pengolah gula terlalu lemah, sehingga pada saat terjadi meningkatnya per-mintaan gula, manufaktur-manufaktur yang dikelola oleh orang-orang Tionghoa ini dirampas oleh orang-orang Eropa. Dan kemudian dikelola dengan cara sewa desa, yaitu desa-desa dilepaskan dari kekuasaan para bupatinya, antara 3 sampai 10 tahun.
Burger dalam Sedjarah Ekonomis Sosiologis Indonesia, menulis, ternyata ketika kurun pemerintahan Daendels, 1808-1811, sistem sewa desa ini pernah dicoba untuk dihapuskan. Tetapi penghapusan sewa desa ini pun dikenakan pada desa-desa yang memproduksi barang yang tidak menguntungkan gubernemen. Sedang desa-desa penghasil nila dan tebu gula yang menggunakan sistem sewa desa, masih tetap dipertahankan.
“Mesin-Mesin Impor Itu”
Dalam tahun 1820-an, mulai bermunculan pabrik-pabrik yang dikelola langsung oleh orang-orang Eropa. Seperti pabrik-pabrik gula yang didirikan di Bekasi, Jawa Barat dan di Oosthoek, Jawa Timur. Dilengkapi dengan modal-modal besar, didatangkanlah mesin-mesin impor yang sebelumnya tidak pernah digunakan di Jawa. Era ini, oleh karenanya bisa disebut sebagai awal terjadinya industrialisasi di Jawa Timur.
Salah satu surat Jessen Trail and Company yang ditujukan kepada NHM memperjelas kedatangan mesin-mesin impor berkualitas tinggi itu. “Perusahaan-perusahaan sekarang ada di tangan kami, agaknya masih menggunakan mesin kasar dan tidak sempurna lagi. Kami memutuskan untuk mengimpor mesin dari Eropa sekaligus orang-orang trampil untuk mengoperasionalkan perlengkapan baru tersebut.
Sekarang, tahun 1826, kami mempunyai tiga set mesin uap; satu penggilingan dari Eropa dengan ke-kuatan delapan tenaga kuda, dengan tiga selinder. Dikerjakan oleh lembu dan tiga penggilingan putar batu tambahan, juga ditarik oleh lembu, dengan enam perangkat lengkap pemasak baja dan penjernih baja dan tembaga.
Juga ada tiga mesin penyuling yang terdiri dari enam penyuling tembaga Eropa, dan satu pelengkap yang sesuai dari sistem fermentasi untuk menyuling gula kental menjadi Arak dan Rum.”
Kaum pedagang besar Inggris yang telah terlibat pengoperasian pabrik-pabrik gula di India, beramai-ramai.. Sederet nama pedagang yang cukup penting, di antaranya William Taylor Money, Thomas MacQuoid, Peter Jessen dan John Palmer. Mereka membentuk lima buah firma, dua di antaranya yang terbesar-adalah Jessen Trail and Co. dan Palmer & Co. Demikian ditulis Knight dalam John Palmer and Plantation Development in Western Java during the Earlier Neneteenth Century ( 1980).
John Palmer adalah pedagang kain dan candu selama kurun pemerintahan Inggris yang singkat di Jawa. Dan di akhir pemerintahan Raffles, Palmer memulai usaha perkebunannya di wilayah Subang, Jawa Barat.
Para pedagang Inggris ini umum nya melakukan investasi dengan melakukan pembukaan tanah-tanah baru di Jawa. Hal ini dimungkinkan karena pasar di Eropa telah terbuka kembali setelah berakhirnya peperangan Napoleon. Yang berakhir dengan kekalahan Napoleon dalam pertempuran Waterloo, di Belgia, Juni 1815. Ia kemudian dibuang ke St. Helena.
Sayangnya, meskipun usaha keras untuk memvitalisasikan industri gula di Jawa itu bisa dikatakan telah maksimal, dengan target bisa menyamai produksi industri gula India, namun hingga 1826, ketika kurun pemerintahan Du Bus de Gisignies antara tahun 1826-1830, produksi hanya mencapai 19.795 pikul. Jumlah sebesar ini, masih jauh dibanding dengan produksi penggilingan yang dilakukan oleh orang Tionghoa selama abad ke-18.
Akar penyebabnya bisa ditelusur dari kesulitan mereka untuk mengatasi masalah yang muncul. Yaitu kelangkaan informasi geografis penanaman perkebunan tebu, maupun faktor kebiasaan masyarakat sekitar pabrik gula itu. Ini tentu berkait dengan salahnya pemilihan lokasi industri.
Contoh kasus, terjadi di daerah perkebunan tebu Pamanukan, Ciasem. Di kawasan seluas 213.000 hektar itu, populasi tahun 1819 berkisar 21 ribu orang. Terdapat beberapa tuan tanah, yang melalui para perantaranya, para mandor dan lurah, mengorganisir petani untuk memproduksi agrikultur padi.
Para tuan tanah ini tentunya tidak ingin kehilangan pendapatan tanaman padi, meski mereka juga diminta untuk pengembangan industri gula. Dari sisi pengelola onderneming gula, ini tentu sangat tidak menguntungkan. Sebab mereka tidak bisa merekrut buruh dari wilayah tersebut.
Solusi yang akhirnya diambil adalah, industriawan gula mencoba untuk menyelesaikan masalah untuk mendapatkan buruh-buruhnya dengan cara mengirimkan agen-agen pencari tenaga kerja ke wilayah karesidenan-karesidenan yang dalam kurun itu memang telah padat penduduknya.
Dengan menghubungi para lurah dalam karesidenan-karesidenan pesisir, maka industriawan gula berhasil mengumpulkan sekelompok bujang yang bersedia bekerja sebagai buruh upah di onderneming-onderneming gula tersebut.
Namun demikian, keadaan penyediaan tenaga kerja semakin memburuk. Sehingga pada penutup tahun 1824, Gubernur Van der Capellen, menyetujui bahwa beban merekrut buruh dialihkan kepada pemerintah. Dengan komandonya, Capellen memerintahkan residen-residen di pesisir Utara Jawa untuk memberikan semua dukungan dan pertolongannya.
Keterlibatan gubernemen menyediakan tenaga kerja ini, tak pelak membuat kebutuhan minimal antara 150 hingga 200 orang buruh untuk setiap pabrik, teratasi. Meskipun demikian, masalah baru muncul berkait pemaksaan kehendak kepada para bumiputera ini.
Sebuah kisah yang menyentuh, ketika para buruh ini harus berpisah dengan keluarga, anak-anak, maupun isteri yang mereka cintai. Jelas, para buruh pria ini lebih memilih berkumpul dengan mereka daripada harus mengikuti kerja paksa, yang upahnya tidak cukup meski hanya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri. Akibatnya, kerja yang sesungguhnya merupakan aktivitas wajib kaum pria, justru menjadi beban. Bahkan penjara yang mengungkung kebebasan hidup.
Ketika keinginan untuk bertemu dengan orang-orang yang mereka cintai sudah sampai di ubun-ubun, maka para buruh ini memilih mencari cara untuk melarikan diri. Escape for freedom, meski bila tertangkap resikonya adalah pembuangan ke penjara-penjara. Pelarian, oleh karenanya menjadi akrab terdengar di masa itu, mengiringi tindakan majikan yang semakin intens untuk bertindak represif.
Sebenarnya, para buruh tersebut berkeinginan sederhana. Kembali ke desa asal, berkumpul dan bercengkrama dengan orang-orang yang mereka cintai. Meski barangkali hidup sederhana dan tidak terlalu banyak menggunakan uang. Menggarap sawah ladang di desa, atau juga menggarap lahan-lahan tidak bertuan yang masih banyak saat itu, adalah dambaan para pekerja paksa itu.
Masalah lain yang dihadapi industri gula adalah lahan tebu. Ini juga terjadi di berbagai kawasan di Sidoarjo. Kebun-kebun tebu yang dibuka tidak ditanam di sawah, tetapi dilakukan pembukaan tanah yang sama sekali baru. Maka diperlukan ketekunan tersendiri untuk mengubah tanah menjadi lahan produktif yang siap ditanam tebu. Apalagi tebu adalah tanaman manja yang menuntut irigasi dan drainasi intensif.
Akibatnya, banyak para pengusaha atau fabriekant frustrasi, karena laba yang diharapkan tidak kunjung tiba sementara industri telah menyedot cukup banyak uang, dan mengakibatkan kebangkrutan. Fabriekant adalah istilah yang menunjuk pada orang yang hanya mengusahakan penggilingan atau fabriek (pabrik).
Dalam arsip-arsip yang tersimpan di pabrik-pabrik gula si Sidoarjo, setelah 1850, istilah fabriekant diganti menjadi ondernemer dikarenakan fabriekant telah lebih mendapat keleluasaan dari gubernemen, den lebih dilibatkan dalam pengolahan kebun-kebun.
Tetapi, sebenarnya bila kita telisik lebih jauh, dari apa yang dilakukan oleh para pengusaha pabrik gula di Jawa ini lebih tepat disebut sebagai planter ketimbang fabriekant ataupun ondernemer. Sebab, tanah-tanah yang dikuasainya itu adalah hasil dari pembelian yang mereka lakukan selama kurun pemerintahan Raffles dan satu dekade sesudahnya.
Jadi, mereka memiliki pabrik sekaligus tanahnya dengan status pemilikan tanah partikulir. Baru setelah berakhirnya cu1tuurstelsel, sebutan untuk pengusaha perkebunan, industri gula maupun onderneming-onderneming lainnya, diseragamkan menjadi planter.
Meskipun demikian, makna planter kurun pasca 1870 berbeda dengan planter kurun 1820-an, terutama antara bentuk persewaan jangka panjang. Setelah 1870, bentuk pemilikkan tanah (grondbezit) sementara dalam kurun cultuurstelsel, sebutan planter mengacu kepada buruh-buruh bumiputra yang bekerja dalam onderneming.
Nah, akibat dari kegagalan yang diderita secara bertubi-tubi inilah, para fabriekant itu akhirnya menyerah. William T. Money, seorang fabriekant mengatakan “Dana-dana saya di Bombay, tertelan oleh perkebunan di Jawa.”
Atau, firma yang dikelola oleh Thomas MacQuoid, MacQuoid Davidson and Co, terpaksa gulung tikar pada 1826. Di akhir 1820-an, tercatat industri gula di Jawa, hancur sama sekali, dan ditinggalkan para pengelolanya. Maka, apa yang dikata-kan Bill Guerin, di awal tulisan ini, sungguh tepat. Industri gula bak puing-puing mengenaskan, digerus tantangan pasar global.
“Politik Ekonomi Cultuurstelsel”
Hancurnya industri gula ini, sedikit banyak terkait dengan keadaan ekonomi negeri Belanda yang morat marit. Sehingga di masa pemerintahan Van den Bosch, diterapkanlah kebijakan cultuurstelsel di seluruh pulau Jawa. Ada beberapa alasan pemberlakuan kebijakan tersebut. Pertama, keadaan di negeri Belanda sangat buruk setelah berakhirnya peperangan Napoleon.
Apalagi saat itu, keuangan pemerintah juga banyak terkuras karena membiayai perang Diponegoro di Jawa yang berlangsung lama, antara 1825-1830. Menyusul kemudian perang melawan Belgia di awal tahun 1830.
Bahkan, dalam kurun pemerintahan Gubernur Jenderal Van der Capellen, pemerintah Hindia Belanda berhutang pada firma Palmer and Co. sebesar 20 juta gulden. Maka, pemberlakuan cultuurstelsel oleh Bosch adalah upaya menutup defisit kronis perekonomiannya.
Istilah stelsel sebetulnya mengacu pada situasi yang khas dengan dipergunakannya sistem politik ekonomi khusus. Pemberlakuan sistem ini, disebabkan oleh kondisi kelas burjuasi yang notabene adalah kaum terpelajar dan pengkhotbah etika dalam dunia politik di negeri Belanda yang terlalu lemah. Rancangan untuk membuka Jawa atas dasar keterlibatan aktif investor swasta, dapat digagalkan oleh arus konservatif di tubuh pemerintah, yang dalam kurun tersebut mendominasi politik di Belanda.
Du Bus de Gisignies, salah satu pendukung sistem eksploitasi swasta, pernah mengajukan rancangan pengelolaan Jawa secara liberal. Yaitu dengan mengambil tanah hutan dan tanah di sekeliling desa menjadi milik kaum pengusaha onderneming swasta, dan untuk menciptakan buruh-buruhnya, rakyat bumiputra dicabut hak-hak tradisionalnya dalam pembukaan hutan-hutan.
Dengan cara ini, akan tercipta lapisan sosial yang disebut proletar. Juga, seperti dikatakan Polak dalam “Tentang Cultuurstelsel dan penggantinja” tahun 1961, dilakukan individualisasi tanah untuk mempercepat terciptanya klas buruh di Jawa, namun rancangan ini akhirnya ditolak Raja Willem I.
Dengan kata lain, Jawa belum memungkinkan dikelola secara liberal. Dalam kurun ini, pemerintah telah memiliki dua lembaga yang diharapkan menjadi tulang punggung sistem cultuurstelsel.
Pertama adalah Nedherland Handeel Maschapij (NHM), yang didirikan tahun 1824. Lembaga perdagangan monopoli ini dibentuk atas inisiatif raja Willem I, dalam rangka menghancurkan hegemoni komersial Inggris di Jawa. Pada kurun tersebut, Inggris dengan ‘perdagangan bebas’nya, memiliki armada kapal lebih dari 100, dari 171 kapal yang berlabuh di Batavia. Sementara kapal Belanda hanya 43 buah.
Berangkat dari sini, upaya memajukan perdagangan Belanda didorong untuk diwujudkan dalam bentuk satu maskapai besar. Modal pertama untuk NHM sebesar satu juta gulden, sedang langkah pertama keterlibatannya dalam perdagangan adalah dengan memberikan hak penjualan kopi Priangan selama duabelas tahun.
Pemberian prioritas dan keistimewaan dalam menjual hasil-hasil Jawa di Eropa ini, implisit berarti penanaman gubernemen harus diperluas.
Kedua, Javasche Bank, didirikan tahun 1828. Sebagai pendukung finansial, dalam prakteknya selama kurun cultuurstelsel peranan Javasche Bank tidak nampak. Lembaga ini baru menunjukan sosoknya dalam kurun pasca 1870.
Hal ini terjadi karena modal nominal yang dijanjikan oleh pemerintah Belanda sebesar 4 juta gulden ternyata yang masuk dalam sirkulasi bank hanya setengah juta gulden. Ini menunjukkan, pemerintah memang dalam kondisi benar-benar defisit akibat menbiayai perang Jawa. Sehingga praktis, bank hanya berfungsi sebagai penyalur keuangan NHM saja.
Pada 13 Agustus 1830, Bosch setuju untuk menanam tebu gula di karesidenan-karesidenan Jawa Tengah dan Timur, yang dianggap situasinya menguntungkan. Inilah isyarat, pembukaan industri gula yang berbentuk perusahaan negara (staatbedrijf).
Sebetulnya, bentuk perusahaan ini tidak dapat dikatakan seratus persen sebagai perusahaan negara. Sebab, gubernemen hanya bertanggung jawab terhadap penyediaan tebu, sedang pabriknya sendiri dibangun secara patungan antara gubernemen dengan para kontraktor atau fabriekant.
Pemilihan Jawa Tengah dan Timur ini, ditekankan untuk menghindari nasib tragis seperti yang menimpa industri Pamanukan-Ciasem. Dan memang, Jawa Barat menjadi terhindar sebagai onderneming gula. Knight menjelaskan hal ini, “Ciri-ciri krusialnya adalah perpindahan industri dari basis perkebunan di Jawa Barat dan menuju koloni di karesidenan-karesidenan pantai utara. Di mana relatif telah tersedia populasi petani binatang dan mesin tradisional. Warga Belanda baru mendatangkan mesin-mesin dalam tahun 1935.
Berlangsungnya rasisme tidak bisa dihindari. Pihak manajemen dimasuki orang-orang Eropa, sementara tenaga kasar diperoleh dari penguasa bumiputera dengan perintah tangan besinya. Buruh banyak yang tidak memperoleh upah, atau gratisan. Adapula yang memperoleh upah, namun jumlahnya sangat minim. Nah, dalam Bahasa Belanda, kerja paksa ini disebut heerendienst dan culturdienst.
Heerendienst untuk kerja rodi pembuatan infrastruktur industri seperti pembangunan jembatan, bendungan air atau dam, pembuatan jalan sekitar pabrik dan sebagainya; sedang cultuurdienst untuk kerja menanam jenis tanaman (plantege)yang di panen.
Pada bagian lain pemerintah Belanda melakukan upaya-upaya untuk menembus pasar Eropa, seperti membuat per-aturan perdagangan khusus dalam bentuk kelonggaran-kelong-garan cukai impor. Yaitu untuk setiap cukai sebesar 100 gulden, diberi potongan 15 gulden. Regulasi ini hanya berlaku bagi perdagangan gula saja.
Fondasi industri perkebunan ini ternyata berhasil baik, gula dari Jawa mampu mendominasi pasaran dunia. Produksi berkembang sangat cepat, dari 752.657 pikul (tahun 1840) hingga mencapai 1.764.505 pikul (di tahun1860), dengan fluktuasi laba antara 280.780 sampai 453.656 gulden per tahunnya.
Tentu saja, hal ini berhasil menguatkan perekonomian negeri induk; dan juga menguatkan ekonomi klas burjuasi Belanda yang telah dilibatkan dalam bisnis-bisnis pemerintah, sebagai sebagai kontraktor. Hal ini mendorong klas borjuasi Belanda untuk mengambil alih peranan yang selama ini dipegang oleh negara dalam pengelolaan industri.
Salah satu caranya adalah perjuangan politik melalui Tweede Kamer atau Majelis Rendah Negeri Belanda. Seperti dilakukan oleh salah seorang pendekar golongan Liberal yang cukup vokal, Van Hoevell.
Baron W.R. van Hoevell, dalam tahun 1848 pernah mengadakan demonstrasi di Batavia, dan mengajukan petisi untuk kebebasan pers, pembentukan sekolah-sekolah di Jawa dan perwakilan tanah Hindia Belanda di Tweede Kamer.
Akibatnya, ia kemudian diusir dari Hindia Belanda. Namun dalam waktu dua tahun ia telah berhasil masuk ke Tweede Kamer, dan menjadi juru bicara kaum Liberal. Pada dasarnya, Hoevell tidak anti terhadap cara-cara cultuurstelsel dalam mengeduk keuntungan.
Namun, dia sangat anti terhadap pemerintah Belanda yang mengan-tongi sebagian besar laba yang didapatkan dari sistem tersebut. Hal yang menjadi alat perjuangan gaga-san politik Hoevell adalah peningkatan standar pendidikan penduduk bumiputra Jawa untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi.
Bahkan, Hoevel secara tegas menyampaikan dalam pidato parlementer pada 8 Desember 1851. “…Saya ingin melihat bahwa dalam pelaksanaan Culturestelsel gubernemen harus mendelegasikan sebanyak mungkin pada inisiatif swasta. Misalnya, ketika kontrak-kontrak gula baru diberikan, saya ingin kebutuhan pabrik-pabrik tidak lagi dipertemukan oleh gubernemen tetapi oleh para pengusaha swasta.
Ketika para penggiling gula mempunyai kebebasan pembagian dari produknya, dan tidak lagi menerima pembayaran uang muka, mereka akan belajar untuk menjadi lebih bergantung pada kekuatan mereka sendiri. Dan bagi mereka akan lebih mudah membuat transisi ke sistem lain di mana tanpa intervensi pemerintah mereka akan membuat kontrak dengan rakyat regarding penanaman tanaman yang dipanen.
Walaupun secara resmi negara melepas para kontraktor gula pada 1879 (Suiker Wet), tetapi akibat tekanan-tekanan keras dari kaum Liberal ini, maka sejak 1850 gubernemen memberi kelonggaran-kelonggaran pada para pengelola industri gula untuk membuka interaksi langsung antara pabrik dengan petani, seperti dalam melakukan perjanjian penanaman dan merekrut tenaga kerja.
Waktu memang tak bisa dihentikan. Terus berjalan, meski tanpa kehendak manusia. Hingga tidak terasa, dari tahun ke tahun penguasaan gula semakin meluas di seantero Jawa. Tercatat, di tahun 1935, pabrik-pabrik gula berdiri di sekitar Sidoarjo, Pasuruan, Probolinggo dan Malang.
Untuk Keperluan tersebut dianggap perlu adanya Balai penelitian Gula atau Proofstation Van Ooc Java di Paruruan, yang merupakan salah satu balai penelitian di antara bagai penelitian yang tersebar di belahan bumi bagian selatan. Hingga kini, balai tersebut masih berfungsi dan diberi nama BP3G atau Balai Penelitian Perusahaan Perkebunan Gula.
Untuk keperluan perbaikan-perbaikan pabrik, khususnya penyediaan suku cadang dan tempat perbengkelan mesin-mesin beratnya, didirikan pula bengkel besar dengan nama De Bromo. Boma ini mempunyai tiga unit antara lain; unit Bhinneka, Turangga dan Wahana. Masing - masing berfungsi sebagai unit aneka ragam pekerjaan, unit yang membuat mesin dan ada unit yang membuat gerbang kereta api.
Dari gambaran di atas, bisa disimpulkan seperti halnya dijaman Airlangga, pada masa Belanda pun Sidoarjo masih dihitung sebagai salah satu kekuatan ekonomi. Ada satu tolok ukur yang bisa jadi indikator yaitu banyaknya pabrik gula di kota sekecil Sidoarjo.
Untuk saat ini saja ada lima komplek pabrik gula yang beroperasi. Kelima pabrik gula itu berada di daerah Candi, Krembung, Krian, Prambon dan Tulangan. Konon dulu lebih anyak lagi, termasuk Pabrik Gula Sruni (sekarang jadi markas Arhanud). Dengan banyak nya jumlah itu bisa di ketahui tingkat kesuburan tanah di Sidoarjo dibanding daerah sekitarnya.
“Kalung Besi Milik Sidoarjo”
Sebuah teknologi kolonial yang dipergunakan sampai sekarang adalah jalur besi untuk kereta api. Ini yang dikatakan Jayabaya sebagai kalung besi di tanah Jawa. Tidak dapat dipungkiri jika hanya di Jawa, di banding pulau luar Jawa, yang memiliki jalur kereta yang padat. Belanda membangun konstruksi ini melintas sepanjang pantai utara Jawa dan jalur sebelah selatan.
Menurut teori interaksi, tinggi-rendahnya sebuah proses transformasi segala hal bisa diukur dari ada tidaknya sebuah jalur transportasi yang memadai. Di Jawa, transformasi dari segala yang berbau asing mudah sekali masuk dan merasuk. Tentu pada awalnya bukan maksud Belanda untuk mewariskan teknologi hebat ini, tujuannya adalah memperkuat hegemoni kolonial di negara jajahannya.
Jalur kereta api hanya melintasi dan menghubungkan kota-kota yang dianggap penting oleh pemerintah Belanda. Bisa jadi ukuran dari penting itu karena adanya pusat politik dan ekonomi. Setidaknya ada beberapa pertimbangan pembangunan rel kereta di jaman Belanda,antara lain:
1. Sebagai jalur yang bersifat politis. Yaitu untuk mengontrol wilayah jajahannya.
2. Sebagai jalur militer. Memudahkan distribusi tentara dalam melakukan ekspansi, pengamanan atau pergerakan posisi.
3. Sebagai jalur ekonomi. Memudahkan transportasi bahan baku dan hasil sebuah pabrik.
Di Sidoarjo, saat ini, terdapat dua lintasan kereta api yang masih berfungsi, di sebelah timur kota dan barat kota. Lintasan di timur ini, selain menghubungkan Sidoarjo dengan kota-kota di belahan selatan Jawa Timur, juga menghubungkan kota-kota di Jawa timur bagian timur. Sementara lintasan Barat menghubungkan Sidoarjo dengan Jawa Timur bagian tengah dan sampai ke Jawa Barat, jika anda akan ke Jakarta, lintasan ini kerap di sebut “jalur Selatan”.
Selain jalur kereta, diwilayah Sidoarjo juga terdapat stasiun-stasiun yang tersebar di sepanjang kedua jalur itu. Dibanding dengan jalur selatan, jumlah stasiun di jalur timur jauh lebih banyak. Apalagi ketika ada program kereta komuter antara Surabaya – Sidoarjo, jumlah stasiun itu juga bertambah oleh pembangunan stasiun baru dan difungsikannya stasiun lama.
Tiga jalur di selusin setasiun
Sebenarnya Sidoarjo tidak cuma memiliki dua lintasan itu. Pada jaman Belanda terdapat lagi sebuah lintasan yang membelah tengah kota Sidoarjo dan menghubungkan jalur timur dan barat. Keberadaan jalur itu bisa disaksikan hingga sekarang. Bukti fisiknya adalah sebuah lajur rel Kereta ke arah barat di perbatasan desa Tenggulunan dan Sumokali, kecamatan Candi.
Bukti fisik lainnya adalah reruntuhan sebuah komplek stasiun di daerah Tulangan.
Selain itu juga terdapat bukti tertulis berupa peta dari jaman Belanda. Dimana peta itu bayak digunakan oleh para keluarga Belanda di Jawa Timur pada tahun 1900, seperti di bawah ini :
Berdasarkan peta ini terlihat jalur Kereta Api (garis tebal) yang mengurung Sidoarjo di timur dan barat kota. Tampak di sana kedua jalur itu terpecah dari stasiun Gubeng (sekarang Stasiun Surabaya Kota). Di peta ini tergambar bahwa kedua jalur itu dihubungkan oleh sebuah lintasan antara Sidoarjo dan Tarik. Semua lintasan ini bersifat ekonomi karena sengaja di bangun sejalur atau berdekatan dengan komplek industri (lingkaran kecil) yang menyebar di sekujur Sidoarjo.
Diawal telah disebutkan tentang stasiun-stasiun yang ada di Sidoarjo. Pada jaman Belanda jumlah stasiun di Sidoarjo ada 12 bangunan yang berdekatan dengan komplek bangunan industri dan lembaga pemerintahan. Dari jalur timur terdapat stasiun Waru, Gedangan, Buduran, Sidoarjo, Tanggulangin dan Porong. Sementara di jalur tengah melewati stasiun Tulangan dan Watu tulis. Di barat terdapat stasiun Kejaten, Tropodo, Krian dan Tarik.
Selusin stasiun ini keberadaannya dimaksudkan untuk memudahkan distribusi bagi pabrik-pabrik di Sidoarjo, diantaranya ; pabrik gula di Candi, Tanggulangin, Krembung, Tulangan, Watutulis dan Krian. Diantara stasiun-stasiun ini separuh diantaranya sudah tidak berfungsi. Bahkan ada beberapa diantaranya sudah runtuh atau beralih fungsi.
Dari banyaknya jalur kereta dan stasiun ini menunjukkan bahwa Sidoarjo dari dulunya merupakan daerah industri yang maju.
“Sebuah Kasus Perlawanan Fisik”
Yang paling terkenal adalah jihad di Gedangan yang dipimpin oleh Kiai Hasan Mukmin. Sebab-sebab pemberontakan berakar dari gerakan agama yang berbasis masyarakat tani. Karenanya tipikal gerakan itu menjadikan permasalahan petani sebagai isu sentral.
Gerakan ini mengalami radikalisasi ketika Belanda memaksakan peraturan yang ketat mengenai efektifitas produksi pertanian. Peraturan itu adalah penanaman paksa palawija yang berupa jagung dan ubi kayu. Selain itu juga dipaksakannya pemakaian weluku (bajak) model Hindu.
Sementara di industri gula, Belanda menentukan secara sepihak harga sewa tanah sawah untuk ditanami tebu. Belanda juga memaksa petani menjadi tanaga kerja di pabrik-pabrik gula pada waktu masa giling. Semetara kebutuhan utama petani, irigasi, berjalan dengan pembagian yang buruk.
Setiap habis shalat Magrib, anggota tarekat selalu mengadakan pertemuan di rumah Kiai Hasan Mukmin di Samentara. Pertemuan-pertemuan ini membahas tentang peraturan Belanda yang dirasa sangat memberatkan bagi petani. Semakin lama pertemuan para anggota tarekat itu bukan lagi pertemuan untuk membahas permasalahan petrani. Tetapi sudah mengarah pada rencana pemberontakan terhadap peraturan Belanda di Sidoarjo.
Kiai Hasan Mukmin adalah putra seorang ulama di Yogyakarta. Sebelum menjadi guru tarekat Qadiriyah-Naqsyabandia di Samentara, Beliau pernah belajar di di Kairo, tetapi tidak sampai tamat karena ayahnya meninggal dunia. Pengikut kumpulan tarekat ini sangat besar, selain Sidoarjo, anggotanya juga berasal dari Mojokerto dan Jombang.
Akhirnya para anggota tarekat sepakat untuk melakukan sebuah pemberontakan. Tanggal pelaksanaannya adalah Hari kedua belas bulan Maulud tahun Wawu atau 27 Mei 1904.
Pada hari itu pemberontakan di mulai setelah shalat Magrib. Sebelum melaksanakan aksinya kaum pemberontak mengambil air wudhu lebih dulu. Kemudian mereka berkumpul di sebuah sawah yang terbuka, dimana berkibar sehelai bendera berwarna putih-biru-putih sebagai symbol dari kemandulan, kepiluan dan kefanaan. Sebagai symbol lain pemberontakan, mereka meyelempangkan Klaras (daun Pisang kering) seraya berdzikir. Kemudian seorang pembicara membakar semangat pemberontak dengan mendakwahkan konsep Jihad (perang suci). Para pemberontak itu berasal dari Samentara, Taman dan Damarsi. Sementara pengikut dari kota lain tidak ikut.
Ketika Wedana Gedangan menerima informasi tentang konsentrasi massa pemberontak di Keboan Pasar (Keboan Sikep), ia langsung mendatangi mereka dengan membawa anggota Polisi yang bersenjata. Tetapi karena jumlah yang kalah banyak, akhirnya Wedana dan Mantri Polisi tertawan.
Melihat kejadian itu pemerintah di Sidoarjo mengerahkan kekuatan militer untuk menindas pemberontakan. Melihat barisan tentara, pemberontak yang berjumlah tiga ratus orang itu bukannya takut. Mereka maju membuat provokasi dengan menari gaya pencak silat sambil menggenggam keris dan mengucap La ilaha ilallah. Tentara mulai menyemburkan pelor panas ke arah pemberontak. Pertempuran itu berjalan singkat. Tetapi menelan cukup banyak korban jiwa. Tiga puluh tiga pemberontak mati terbunuh, tiga puluh tujuh lainnya terluka termasuk Kiai Hasan Mukmin.
Walaupun terluka, tetapi Kiai Hasan Mukmin berhasil melarikan diri kerumahnya. Namun tak lama kemudian tentara Belanda mengepung dan membakar rumah itu setelah membunuh Kiai Hasan Mukmin. Pemberontakan Gedangan padam bersama dengan kematian sang Kiai.
“Sebuah Mitologi Sarip Tambak Oso”
Cerita ini akrab di dengar di Sidoarjo dan juga di panggung Ludruk. Lakon Sarip Tambak Oso merupakan sebuah epos yang lahir dan pernah terjadi di Sidoarjo, tepatnya di desa Tambak Oso (sekarang di sebut Tambak Sawah, Kecamatan Waru). Dilihat dari beberapa tokoh sentral dalam cerita, diperkirakan peristiwa ini terjadi di masa Sidoarjo sudah berbentuk Kabupaten.
Perlawanan Sarip –seperti halnya dengan Jaka Sambang dan Untung Surapati- lebih sering dijumpai di panggung-panggung ludruk. Hal ini bisa menjadi analisa tersendiri jika melihat dari batasan tentang seni panggung di jaman itu.
Batasan itu lahir dari kraton, antara seni yang “adiluhung” yang hanya pantas dipertontonkan di kraton dengan seni rakyat yang berasal dari rakyat biasa. Dalam hal ini, begitu juga dengan halnya ludruk, Sarip Tambak Oso, Jaka Sambang dan Untung Surapati lahir dari orang kebanyakan. Sehingga sepak terjang ke tiga tokoh pembangkang diatas lebih sering digambarkan di panggung Ludruk daripada Ketoprak yang adiluhung itu. Bisa juga dikatakan ketiga tokoh ini merupakan “doa orang biasa” yang menjawab realita timpang pada saat itu, dimana penguasa Pribumi (kraton Solo) lebih berpihak pada penguasa asing daripada kepentingan kawula nya.
Sarip adalah anak seorang janda miskin di desa Tambak Oso. Dia dikenal sebagai pemuda Bengal, kecu, perampok dan seorang maling yang ulung. Keberadaan anak janda ini membuat orang-orang kaya pelit tidak bisa tidur nyenyak. Karena merekalah yang jadi target operasi pencurian Sarip. Dan Sarip bukanlah maling yang pilih-pilih. Barang apapun yang bisa dijadikan uang pasti ia ambil.
Sementara itu sikap masyarakat miskin di sekitarnya cenderung mendiamkan perilaku Sarip, bahkan melindunginya. Bisa di tebak masyarakat bersikap seperti itu karena Sarip selalu membagi-bagikan hasil curiannya kepada masyarakat. Karenanya Sarip juga dikenal sebagai maling budiman. Tetapi tidak demikan halnya dengan pemerintah yang menganggap Sarip tidak lebih sebagai seorang kriminil yang meresahkan. Mulai saat itu pihak keamanan berupaya untuk menangkap maling budiman itu.
Pada suatau hari Sarip mengunjungi seorang saudaranya untuk membicarakan pembagian harta warisan. Ia mempertanyakan hak warisnya atas sebidang tanah tambak dari bapaknya. Saudaranya ini adalah seorang yang curang. Walaupun ia orang kaya tetapi tidak mau memberikan tambak yang menjadi hak Sarip. Masalah ini menimbulkan perselisihan antara mereka berdua. Bermula dari pertengkaran mulut, perselisihan ini menjadi perkelahian yang berakhir dengan kemenangan Sarip setelah menggebuki saudaranya sampai tersungkur.
Si korban tidak terima atas perlakuan ini. Kepada Lurah Gedangan yang bernama Bargowo ia melaporkan kejadian ini. Kemudian Lurah Bargowo dan Cariknya yang bernama Abilowo pergi ke Tambak Oso untuk menangkap Sarip. Tetapi mereka hanya menemukan emak Sarip yang sudah tua. Jengkel karena tidak bisa menemukan buronannya, Lurah dan Cariknya itu menganiaya emak si Sarip hingga terluka. Setelah korbannya tidak berdaya, mereka kembali ke Gedangan.
Tak lama kemudian Sarip tiba di rumah. Demi melihat emaknya babak belur di hajar lurah dan carik Gedangan, ia naik pitam dan mengejar kedua orang itu. Sarip berhasil menyusul kedua orang itu dan langsung membalas penganiayaan terhadap emaknya. Kedua pamong praja itu melarikan diri ke Sidoarjo setelah tidak mampu mengalahkan Sarip. Di Sidoarjo mereka melaporkan kasus penganiayaan yang baru mereka alami ke pada Mantri Polisi.
Pada saat itu juga rombongan lurah dan mantra polisi bergerak ke Tambak Oso untuk menangkap Sarip. Singkat cerita terjadi pertarungan antara Sarip dengan rombongan itu. Saat merasa terdesak Sarip mencoba melrikan diri. Tetapi peluru kompeni lebih dulu merenggut nyawanya. Sarip tergeletak mati.
Dirumah, emak Sarip merasa telah terjadi sesuatu dengan anaknya. Kemudian ia berteriak keras memanggil nama Sarip. Ikatan batin yang kuat antara ibu-anak itu membuat sebuah keajaiban. Begitu mendengar panggilan emaknya tubuh Sarip yang sudah mati itu bergeletar hidup lagi dan segera melarikan diri. Kejadian itu mengejut kan rombongan pemburunya.
Kejadian serupa berkali-kali terjadi, Sarip yang sudah mati begitu dipanggil emaknya akan hidup lagi. Tahulah rombongan mantra Polisi jika Sarip memempunyai kelebihan. Merasa gagal menangkap Sarip, rombongan itu kembali ke Sidoarjo untuk merencanakan siasat penangkapan.
Lurah Bargowo yang merasa terancam karena gagalnya penagkapan itu, kemudian minta tolong kepada Paidi, seorang pemuda kusir dokar di desa Segoro tambak. Paidi merupakan musuh bebuyutan Sarip. Setiap kali bertemu, kedua pemuda itu selalu berselisih karena masing-masing merasa sebagai jagoan di desanya. Lurah Bargowo tahu hanya Paidi yang mampu menaklukkan Sarip. Karena dalam perkelahian pemuda itu pandai menggunakan “jagang baceman” (kayu penyangga dokar jika tidak ada kudanya). Paidi menyanggupi permintaan pak Lurah dan mulai memprovokasi Sarip untuk berkelahi dengannya.
Sarip terpancing. Kedua pemuda itu terlibat perkelahian. Karena masing-masing adalah jago di desanya, perkelahian itu berjala seru. Pada awalnya Paidi terdesak oleh serangan Sarip. Ia mulai menggunakan jagang baceman sebagai senjataanya. Ketika senjata itu mengenai sasaran, tubuh Sarip tiba-tiba lunglai. Melihat sarip sudah lemas, lurah Bargowo menghubungi Mantri Polisi di Sidoarjo yang langsung menggelandangnya. Konon, Sarip terlebih dulu di kerangkeng di Gedangan sebelum ia menjalani hukuman gantung.
BAB 5
SI CEBOL
BERTONGKAT KUNING
Pearl harbour di serang Jepang. Pangkalan laut Amerika itu luluh lantak dan sekitar 3000 prajuritnya jadi korban. Admiral Isokoru Yamamoto, komandan penyerangan itu menggunakan puluhan pesawat dari armada Kamikaze (terbang untuk mati)untuk membombardir para prajurit Amerika yang tidak dalam keadaan siap. Setelah itu Jepang mulai menjarah Asia untuk mendirikan Negara Asia Timur Raya, di mana Jepang sendiri sebagai pemimpinnya.
Kedatangan Jepang di Indonesia disambut meriah. Mereka dianggap sebagai pembebas yang mampu melibas Belanda yang sudah ratusan tahun bercokol. Tetapi pada perkembangan selanjutnya, Jepang terbukti bukanlah perampok yang pilih-pilih.
Selama kekuasaannya penghinaan dan penganiayaan merupakan pemandangan sehari-hari. Sebut saja seperti Jugun Ianfu (wanita yang di paksa sebagai pelacur), Romusha, perampasan beras dan bahan makanan serta tidak adanya pendidikan membuat bangsa ini semakin “kurus”. Si Cebol Bertongkat kuning (sebutan Jayabaya untuk Jepang) ini hanya berkuasa 3,5 tahun, tetapi tingkat kematian penduduk bertambah tinggi. Dikarenakan sudah banyak materi yang menulis tentang kekejaman Jepang maka tulisan ini hanya membatasi pada proses penyerbuan Jepang di Jawa Timur dan beberapa peristiwa yang terkait dengan Sidoarjo.
Untuk menguasai Jawa Timur Jepang membuat garis besar serangan dengan cara menduduki pantai utara Jawa di Kragan, menguasai Rembang dan pangkalan minyak Cepu, untuk menguasai dua kota besara Jawa Timur yaitu Surabaya dan Malang. Untuk menyerang Jawa Timur, Jepang mengunakan Divisi ke-48 yang berada di bawah pimpinan Letnan Jendral Tuchihashi Yuitsu. Tujuan utama serangan ini adalah kota Surabaya. Letnan Jendral Tuchihashi Yuitsu dalam melaksanakan operasi militernya berdasarkan perkiraan lokasi konsentrasi terbesar Belanda ada di sebelah Timur Laut Surabaya.
Untuk mengecoh perhatian Belanda, pasukan Jepang dipecah dengan dua jalur penyerangan. Pasukan pertama mengikuti jalur Utara bergerak untuk menguasai Surabaya, sedangkan Pasukan Kedua mengikuti jalur selatan untuk memotong jalan Surabaya Malang. Setelah itu kedua pasukan akan menyerang titik pertahanan angkatan laut Belanda dari Barat dan Tenggara. Pemecahan jalur gerak pasukan Jepang memang membawa hasil, perhatian Belanda terkecoh dengan gerakan pasukan Jepang. Pada tanggal 28 Februari 1942 siang, komandan Divisi Belanda Mayor Jenderal Ilgen mendapat berita pengitaian dari udara melaporkan armada Jepang terdiri dari 104 kapal besar mendarat di pantai Utara antara Rembang dan Weru. Dengan keadaan medan seperti itu maka Mayor Jenderal Ilgen memutuskan untuk memusatkan pertahanan di Paciran. Tujuan dari rencana ini adalah mengahambat gerakan pasukan Jepang dari Utara. Tujuan lainnya adalah untuk memberi waktu tim bumi hangus untuk menghancurkan obyek-obyek vital dan pangkalan laut Belanda di Surabaya. Untuk itu komandan pasukan Belanda di Tuban, kolonel Van Kuilenburg, menerima intruksi sebagai berikut :
- Musuh telah mendarat di Kragan dengan kekuatan dua hingga tiga divisi.
- Pasukannya akan mempertahankan sebelah Selatan kali Solo dari Sembayat hingga ke Cepu.
- Apabila musuh terlalu kuat harus mengundurkan diri ke Jombang di belakan tepian sungai Brantas.
Tetapi perhitungan Mayor Jenderal Ilgen keliru, pada tanggal 2 Maret 1942 pagi datang berita bahwa pasukan Jepang sudah masuk Jawa Timur dengan menyamar memakai piyama Cina. Berita ini diikuti dengan berita lainnya yang membuat mental dan moral pasukan Belanda anjlok.
Di Surabaya tim bumi hangus diberi waktu empat hari untuk melumpuhkan obyek-obyek vital yang kemungkinan digunakan Jepang. Obyek vital itu terdiri dari selruh komplek pelabuhan, instalansi minyak di Wonokromo dan pabrik Piroteknik di Kamal, Madura. Untuk pembumi hangusan pangkalan angkatan laut diundur atas permintaan Admiral Helfrich karena ada kapal selam yang akan masuk. Tetapi Admiral Helfrich sendiri sudah melarikan diri ke luar negeri pada tanggal 2 Maret. Karena tidak ada berita lebih lanjut tentang keberadaan sang Admiral maka mulai tanggal 3 Maret 1943 pangkalan laut mulai di bumi hanguskan. Kapal-kapal yangtidsak dapat berlayar di tenggelamkan untuk menutupi jalur pelayaran. Praktik bumi hangus ini juga menghancurkan gudang-gudang bahan makanan yang diikuti dengan penjarahan besar-besaran oleh masyarakat. Pada tanggal 5 Maret 1942 pasukan Jepang telah berada di daerah antar sungai Solo dan Brantas. Jepang telah masuk Jawa Timur, Mayor Jenderal Ilgen terkecoh. Ia baru sadar jika Surabaya diserang dari dua arah. Strategi bertahannya berakhir dengan kehancuran total.
Masa Pedudukan Jepang ( 8 Maret 1942 - 15 Agustus 1945 ) Sebagaimana juga daerah-daerah di Indonesia, mulai tanggal 8 Maret 1942 daerah Delta Brantas ada dibawah kekuasaan Pemerintahan Militer Jepang. Pada waktu pendudukan Jepang itu, yang menjadi Bupati Sidoarjo adalah tetap Bupati R.A.A. Sujadi. Pemerintahan jepang sangat militeristik sehingga tidak sedikit para pemimpin dan Pamong Praja yang dianggap merintangi Pemerintahan Jepang menjadi korban Kempetai. Dimana-mana dibentuk Seinendan dan Keibondan dan (sebagai pembantu Polisi ), hingga ke desa-desa terpencil.
Pemerintahan Republik Indonesia. Sebagaimana tercatat pada tanggal 15 Agustus 1945, Jepang menyerah pada Sekutu, pada waktu itu adalah waktu yang sebaik-baiknya bagi Bangsa Indonesia untuk melepaskan diri dari belenggu penjajahan, dimana-mana di daerah Republik Indonesia dibentuk bermacam-macam badan atau perkumpulan yang bersifat nasional. Pada waktu itu yang berkuasa di daerah Delta Brantas ialah Kaigun ( tentara Laut Jepang ).
“Jembatan Porong Enam Maret”
Strategi perang yang diterapkan Mayor Jenderal Ilgen tidak diikuti oleh penggunaan artileri dan koordinasi yang baik dan informasi yang akurat tentang kemajuan Jepang, membuat psukannya tidak mampu membendung gerak Jepang dalam menguasai Surabaya. Selain itu pasukan Belanda juga mengalami kehancuran dari segi taktis dan psikologi. Pada tanggal 6 Maret 1942 pasukan Belanda yang ada di Tuban di tarik ke selatan Surabaya. Pasukan yang dipimpin oleh colonel Van Kuilenburg ini ditempatkan di daerah Porong dengan tujuan untuk menahan serangan Jepang yang diketahui telah sampai di daerah Kediri sampai tepi sungai Brantas.
Hari itu jam 9 pagi beberapa pesawat tempur Jepang tampak terbang rendah di atas wilayah Porong. Beberapa kali pesawat-pesawat itu melepaskan beberapa bom sambil sesekali menembaki posisi tentara Belanda. Setelah penyerangan dengan arteleri udara itu selesai, pada pukul 12 siang Jepang menyerang habis-habisan posisi tentara Belanda di Porong. Serangan itu membuat perkubuan tentara Belanda di sana hancur karena prajurit yang melayani senjata berat anti tank telah melarikan diri.
Atas hancurnya pertahanan Belanda di Porong otomatis Sidoarjo dan Surabaya menjadi daerah yang tak terlindungi. Terlebih lagi kemudian Mayor Jenderal Ilgen memerintahkan tentara Belanda untuk gerilya. Pada 6 Maret 1942 sore dapat dikatakan seluruh tentara Belanda di bawah Divisi ke 3 telah bergerak menuju daerah yang ditunjuk sebagai kantong-kantong gerilya. Mereka bergerak diantara Pasuruan dan Malang. Tetapi taktik gerilya ini tidak bertahan lama karena prajurit-prajurit Belanda itu tercerai berai dan kehilangan kontak dengan komandannya. Mayor Jenderal Ilgen sempat melakukan rekrutmen untuk menambah jumlah pasukannya yang semakin tipis. Tetapi rekrutmen itu hanya mendapat 20 orang saja.
Sementara itu Radio Nirom (radio resmi milik pemerintah Hindia Belanda) pada tanggal 8 Maret 1942 menyatakan Jawa Barat telah menyerah kepada Jepang. Mayor Jenderal Ilgen mendengar berita itu berpendapat penyerahan kepda Jepang hanya untuk Jawa barat saja. Baru setelah mendapat berita bahwa pasukan KNIL telah menyerah seluruhnya, pada tanggal 9 Maret 1942 Mayor Jenderal Ilgen bersama Kepala Stafnya Letnan Kolonel G.S. Gotschal melaporkan penyerahan dirinya kepada Mayor Jendral Abe koichi di Malang yang kemudian ditindak lanjuti oleh Markas Komando Letnan Jendral Tsichibashi di Sidoarjo.
“Orang Bule di Keranjang Babi”
Kekejaman tentara Jepang tidak hanya menimpa kepala inlander saja, tetapi orang bule pun tidak luput dari praktek-praktek dehumanis serdadu Dai Nippon. Dibawah ini sebuah cerita tentang kekejaman Jepang di Sidoarjo yang menimpa kaum interniran (sebutan orang Belanda yang di tawan Jepang). Cerita ini beredar dari mulut ke mulut sehingga menyerupai majalah yang tidak mengenal hukum sensor.
Setelah penyerahan tentara Belanda pada bulan Maret 1942, terdapat sekelompok kecil serdadu Belanda yang nekat melanjutkan perang gerilya. Mereka menyembunyikan diri di dekat pabrik gula Watoe toelis. Untuk makan mereka mencuri seekor sapi milik petani setempat. Permasalahan pun timbul setelah petani yang kehilangan kebaunya itu menemukan bercak darah yang berleleran. Ia melaporkannya ke kepala desa yang kemudian di teruskan ke asisten wedana. Oleh asisten Wedana laporan ini di teruskan kepada kenpeitai (polisi rahasia Jepang yang sudah membunuh banyak orang). Dengan menjejak bercak darah rombongan asisten wedana dan serdadu Jepang mencoba menemukan kerbau yang hilang. Jejak darah itu menuju ke tempat persembunyian serdadu Belanda sehingga mereka dapat ditangkap.
Para serdadu Belanda yang nekad itu kemudian di masukkan kedalam keranjang yang biasa digunakan untuk mengangkut Babi. Para tawanan itu dimasukkan kesana dalam keadaan telanjang dan kaki dihimpit. Setelah itu mereka diangkut kedalam truk yang masing-masing di jaga tiga serdadu Jepang. Keranjang babi berisi manusia itu ditumpuk tiga di dalam truk. Seorang saksi dari Pasuruan ada yang mendengar suara-suara dalam bahasa Inggris yang memohon “water” (air), ketika truk itu berhenti mengisi bensin.
Keranjang-keranjang itu kemudian di buang ke laut di tiga tempat yang berbeda. ***
BAB 6
ETNIS MADURA, MATARAMAN
DAN TIONGHOA DI SIDOARJO
Sejak pertengahan abad ke 19 terdapat tidak kurang dari 833.000 orang Madura yang bertempat tinggal di Jawa Timur dan bagian terbesar penduduk yang tinggal di pantai utara Jawa Timur berasal dari Madura (Hageman Czn, 1858: 324-325). Karena pengembangan usaha perkebunan swasta di daerah pedalaman Jawa Timur pada pertengahan abad ke-19 butuh tenaga besar, maka migrasi penduduk dari Madura ke Jawa Timur meningkat pesat, dari Sumenep saja setiap tahun rata-rata 10.000 penduduk yang bermigrasi (Koloniaal Verslag 1892′ Bijlage C, No, 22:3). Para migran dari Sumenep dan Pamekesan, umumnya bermigrasi ke daerah Sidoarjo, Bondowoso, Jember dan Banyuwangi seperti yang tertulis dalam dokumen Belanda Werkschema Reboisatic Madoera, 1938: 9-10.
Secara paradoks, Kabupaten Sumenep yang ditinggalkan oleh warga Madura justru didiami oleh orang-orang yang asal-usulnya dari negeri asing. Menurut Catalan Raffles dalam The Hilary of Java (1817, I: 63; II: 284-286). disebutkan bahwa orang-orang asing yang tinggal di Sumenep adalah Cina Singkek, Peranakan Cina, Melayu, dan Arab. Kehadiran orang Cina di Sumenep tidak menimbulkan masalah apapun, karena peraturan pemerintah kolonial tidak memberi peluang kepada etnis itu untuk memiliki tanah.
Karena alasan peraturan itulah, maka orang-orang Cina di Sumenep umumnya menjadi rentenir, penyewa hak atas tanah, hak pajak tanah, pasar, dan pelabuhan. Sementara orang-orang Arab justru sangat dihormati karena latar belakang agama di mana sebagian di antara mereka diyakini sebagai keturunan nabi Muhammad SAW.
Tidak jauh berbeda dengan keadaan di Sumenep, di Kabupaten Sidoarjo Juga terdapat orang-orang yang asal usulnya dari negeri asing. Namun demikian, karena alasan kesamaaan agama maka orang-orang Arab di Sidoarjo sangat dihormati. Sebaliknya hubungan warga Madura Sidoarjo dengan warga keturunan Cina, umumnya Iebih bersifat ekonomi di mana orang-orang Cina umumnya berstatus sebagai juragan sedang orang-orang Madura berstatus sebagai buruh atau kuli.
Hubungan tradisional antara warga Madura di Sumenep dan Pamekasan dengan warga Madura di Sidoarjo rupanya tetap terjalin sampai Memasuki akhir abad ke-20 ini. Para kiai besar di Sidoarjo, pada umumnya menjadi panutan bagi warga Madura di Sumenep dan Pamekasan. Dan peranan kiai sebagai figur sentral bagi warga Madura, sangat berperanan penting dalam setiap perubahan sosial yang terjadi di tengah masyarakat Madura baik yang di Sumenep, Pamekasan maupun Sidoarjo dan sekitarnya.
Sementara itu, kelompok masyarakat di Sidoarjo yang tidak boleh diabaikan keberadaannya adalah para penduduk pendatang yang berasal dari kultur mataraman seperti Nganjuk, Madiun, Solo, dan lainnya yang diperkirakan sudah tinggal di kawasan ini sejak awal abad ke-17.
Sekalipun Jumlah mereka itu relatif kecil dibanding penduduk Madura yang datang pada abad ke-19, namun mereka merupakan kelompok yang juga mencoba untuk bertahan hidup dengan berbagai cara. Salah satu bukti adalah dikenalnya pertunjukan wayang kulit di Sidoarjo.
Sampai sekarang, kelompok ini masih menunnjukkan identitasnya secara tegas. Sebagai etnis mataraman yang terpengaruh dalam budaya kraton, komunitas ini dikenal karena intelektualnya yang tinggi. Dan kelompok ini, memberikan citra tersendiri bagi kehidupan masyarakat di Sidoarjo.
Komunitas lain yang tidak kalah unik di Sidoarjo adalah etnis Tionghoa. Kedatangan rtnis yang tergolong minoritas ini ke Sidoarjo tidak bisa dilepaskan dari sejarah kedatangan bangsa Tiongkok ke nusantara secara bergelombang. Menurut Prasasti Tain Fei Ling Ying Zhi Ji yang ada di Changle, Provinsi Fujian (Hokkian), ada seorang panglima bernama Cheng Ho berlayar sampai tujuh kali ke nusantara mulai tahun 1405-1431 Masehi. Dalam tujuh kali pelayaran tersebut, armada Cheng Ho berkunjung ke Sumatra dan Jawa, serta daerah lainnya.
Cheng Ho adalah seorang utusan Kaisar Zhu dari dinasti Ming Tiongkok, yang dalam pelayarannya dibantu oleh Wang Jinghong (Ong King Hong). Dalam pelayarannya ke Jawa, Cheng Ho sudah mendapati kantong-kantong komunitas etnis Tionghoa dan giat mengajarkan agama Islam. Persinggahannya ke Jawa membekas hingga saat ini yaitu masih berdirinya Kelenteng sam Po Kong di Semarang –sebagai penghormatan Wang Jing Hong (Kyai Jurumudi Dampo Awang) kepada Cheng Ho.
Pelayaran pertama Cheng Ho (1405-1407) sangat fenomenal karena dia berkunjung ke Jawa Timur dan mendapati perang saudara di kerajaan Majapahit, yaitu antara Wirabumi dengan Wikramawardhana. Dalam kekacauan perang itu, 170 awak kapal Cheng Ho terbunuh oleh pasukan Wikramawardhana. Namun karena takut balasan Dinasti Ming, maka Wikramawardhana mengirim utusan ke Tiongkok untuk meminta ampun. Kaisar Zhu memaafkan dengan syarat Wikramawardhana mengganti kerugian dengan emas 60.000 tail. Menurut Ming Shi (Sejarah Dinasti Ming) volume 324, ganti rugi itu dibayar dengan cara mencicil setiap tahun sekali sampai akhirnya lunas.
Dalam karya Ma Huan, Ying Ya Shen Yang, terdapat bab tersendiri yang berjudul Kerajaan Jawa. Di dalam bab itu Ha Muang menulis bahwa bila ada kapal dari luar negeri, mereka akan berlabuh di empat pelabuhan yaitu Tuban, Gresik, Surabaya dan Majapahit (Sidoarjo dibawah kekuasaan Majapahit dan berbatasan dengan Surabaya).
Ma Huan menulis, bahwa Surabaya berbatasan dengan Mojokerto, pemandangannya indah dan udaranya panas sepanjang tahun. Dari kejauhan tampak gunung (Penanggungan) yang lerengnya penuh pohon Yanfu dan Nanmu. Adat istiadat masyarakat sekitar sungai (sekitar Sidoarjo) sederhana. Baik pria dan wanitanya berkonde dan memakai baju panjang dan pinggangnya dililit dengan kain berlipat. Orang yang tua diangkat sebagai kepala daerah. Penduduk membuat garam dari air laut dan membuat arak dari sorghum. Di daerah ini terdapat kambing, burung beo, kapuk, kelapa, kain kapas, perak, dan sebagainya.
Kedatangan etnis Tionghoa ke Surabaya dan Sidoarjo lambat laun semakin deras seiring dengan semakin menggeliatnya roda ekonomi kawasan ini. Di beberapa dokumen lain menyebutkan di Sidoarjo saat era kolonial Belanda, sudah tercatat berdirinya toko-toko, sekolahan dan tempat ibadat milik etnis Tionghoa. Yang paling kentara adalah eksistensi dari tempat ibadat Tri Dharma Tjong Hok Kiong di Sidoklumpuk, Sidoarjo yang sudah berdiri sejak tahun 1869.
Tempat ibadat ini adalah tempat dimana etnis Tionghoa yang beragama Budha, Kong Hu Cu dan Tao berkumpul. Sementara etnis yang beragama Islam, membaur dengan warga etnis pribumi yang kebanyakan beragama Islam untuk beribadah di Masjid Jamik. Salah satu ritual yang cukup terkenal di Tjong Hok Kiong adalah peringatan hari ulang tahun Thian Siang Seng Bo (Dewa Mahco). Ulang tahun Dewa yang jadi simbol kasih sayang sesama umat manusia ini diperingati setiap tanggal 1 dan 15 Imlek dengan cara mendatangi Tjong Hok Kiong untuk bersembahyang, memohon keselamatan dan perlindungan.
Dua etnis pendatang, etnis Madura dan Tionghoa ke Sidoarjo ini memiliki tipologi yang hampir sama; yaitu sama-sama ulet untuk berdagang. Etnis Madura kebanyakan bergerak di sektor informal seperti di pasar-pasar tradisional sementara etnis Tionghoa kebanyakan menguasai perdagangan di sektor formal seperti di banyak pertokoan yang tersebar di Sidoarjo.***
BAB 7
MEREKA YANG DIKAPALKAN
Keinginan bangkit dari kemiskinan ternyata harus berakhir dalam liang kubur di negeri orang. Orang-orang Jawa, Termasuk 200 orang diantaranya dari Sidoarjo, yang di pekerjakan di Suriname kebanyakan mengalami kehancuran tubuh akibat siksaan, kerja badani yang kelewat berat dan perlakuan yang buruk. Selain itu mentalitas kuli kontrak itu juga remuk karena pelegalan judi, prostitusi bahkan anjuran menghisap candu. Hanya sebagaian kecil yang berhasil pulang ke Indonesia seiring hancurnya kekuasaan kolonial Belanda di negeri jajahannya. Sisanya menetap disana.
Pada awalnya adalah tanam paksa di Jawa yang diprogramkan oleh Van den Bosch untuk menolong keuangan Belanda yang hampir bangkrut akibat Perlawanan Diponegoro. Di Negara induk, Belanda, program itu menolong perekonomian negeri. Sementara Hindia Belanda hanya kebagian ampas dari kemakmuran itu. Bukan saja angka kemiskinan semakin tinggi akibat tanamm paksa itu, tingkat kematian penduduk juga berlipat dua.
Seorang anggota parlemen Belanda, Van Deventer, menuntut rakyat Belanda untuk membalas budi atas jasa penduduk Indonesia yang secara terpaksa membantu memperbaiki ekonomi Negara Kincir Angin itu. Multatuli, asisten keresidenan Banten, mendesak kerajaan Belanda dari dalam Hindia Belanda. Akhirmya Raja Belanda mencanangkan politik etis yang dimaksudkan untuk membalas budi bagi inlander Hindia Belanda. Politik ini mencantumkan tiga poin yaitu : Edukasi, Irigasi, migrasi.
Pada poin terakhir ini ternyata juga terjadi penyelewengan. Penduduk yang di pindahkan dari Jawa hamper seluruhnya dijadikan pekerja di perkebunan (onderneming) milik Belanda yang bertambah luas itu. Pekerja-pekerja itu (disebut juga Koeli kontrak) tersebar di Sumatra, Afrika dan Suriname (Amerika Selatan).
“Onderneming di Sumatra”
Deli 1863. seorang Belanda yang bernama J.Nienhuis menanam tembakau yang ternyata mempunyai kualitas terbaik di pasaran Eropa. Seiring dengan permintaan yang besar dari Eropa, petani-petani Belanda di Deli ramai-ramai memperluas kebun tambakau mereka. Untuk pekerja, awalnya mereka mengambil orang-orang Batak dan Cina sebagai pekerja (arbeiders) diperkebunan itu.
Dengan semakin meningkatnya hasil kebun tembakau diperlukan pekerja-pekerja terampil yang sudah biasa melakukan kegiatan tanam menanam (plantages). Untuk itu Deli Planters Vereeniging, yang didirikan tahun 1897, mulai melirik petani-petani dari Jawa. Karena selain terjerumus kemiskinan orang Jawa terkenal menurut dan gampang diatur. Untuk keperluan itu organisasi ini membuat kontrak dengan beberapa pihak, seperti calo dan lurah, untuk bertugas mencari buruh di Jawa.
Kebutuhan akan buruh juga terjadi di luar Hindia, termasuk di Suriname yang mulai mengembangkan perkebunan juga di samping pertambangan Bauiksit.
Kuatnya pengaruh pemilik perkebunan di dalam dan luar Hindia membuat kebutuhan akan buruh itu mendapat perhatian pemerintah Hindia Belanda. Dan terbitlah surat kontrak yang disebut Koeli Ordonantie yang dibuat berdasarkan surat keputusan Gubernur Jendral Stbl. No: 138 tertanggal 13 Juli 1889. surat ini mengalami revisi oleh surat keputusan lain tertanggal 11 Maret 1898, Stbl. No: 78 yang juga berisi kewajiban pekerja, anatara lain: pelarangan meninggalkan onderneming, sehari bekerja 10 jam selama tiga tahun, terikat dengan hokum daerah tujuan,
Sementara untuk hak pekerja: mendapat tempat tinggal, upah, makan dan MCK. Selain itu juga berhak untuk mengajukan surat pengaduan bila pemilik perkebunan (ondernemer) memperlakukannya tidak sesuai ketentuan, termasuk juga minta di pulangkan bila kontraknya telah selesai.
Dalam memilih pekerja pemilik onderneming sangat selektif. Selain kesehatan hal yang juga diperhatikan adalah factor sekuritas dan monopoli atas pekerja kontrak mereka. Unjtuk hal terakhir ini dalam biodata setiap pekerja selalu tercantum tanda kenal berubah tahi lalat, bekas luka atau ciri fisik lainnya. Tanda kenal ini berguna untuk menemukan pekerja yang melarikan diri atau bekerja secara diam-diam di perkebunan lain.
Masih tentang melarikan diri, pemilik onderneming dan stafnya diperkenankan untuk melakukan tindakan hokum bagi pekerja yang kabur. Selain itu ondernemer menggunakan jasa para opas untuk menangkap, mengurung bahkan menyiksanya. Tenaga lainnya adalah para mandor yang biasanya diambil dari pribumi. Selain mendapat gaji resmi dari perkebunan mandor juga mendapat jatah 7,5 persen hasil pendapata kelompok buruh yang diawasinya.
Adalah kanker kemiskinan yang membuat para petani jawa tergiur untuk kontrak kerja itu tanpa tahu daerah tujuan dan pekerjaan sebenarnya. Pamphlet tentang kesempatan kerja kontrak seperti sebuah jawaban bagi keinginan petani miskin untuk merubah nasib. Ditengah himpitan ekonomi dan sebagian oleh keinginan berjudi, mereka secara perorangan ataupun kelompok masuk dalam ikatan kontrak onderneming.
Dalam pamphlet itu agen pencari tenaga kerja menuliskan tentang suasana kerja yang nyaman, manusiawi dan gaji sebesar f 60 bagi orang dewasa. Di Suriname gaji seorang kuli kontrak bisa mencapai 80 sen perhari untuk pria dan 60 sen untuk wanita.
Tetapi petani-petani buta huruf itu tertipu. Bukan saja tempat kerjanya yang sangat jauh, kondisinya pun tak sesuai dengan yang tertera di iklan pamlet. Mereka tidur tinggal berdesakan di barak-barak kumuh. Jika sakit para koeli itu lebih menderita karena pemilik perkebunan lebih mementingkan peningkatan hasil perkebunan daripada kesehatan pekerjanya. Dan bila ada yang mati, pihak onderneming hanya memberi 7 meter kain kafan.
“Dulur Jawa yang bernama Suriname”
Suriname adalah sebuah Negara bekas jajahan belanda di Amerika selatan. Pada jaman colonial kawasan ini “diramaikan” oleh kedatangan pekerja-pekerja dari Jawa, Afrika dan India. Ketiga etnis inilah yang pada gilirannya nanti membentuk Suriname sekarang. Negara yang mendapat kemerdekaan dari Belanda pada 25 November 1975 ini bermotto Justitia - Pietas – Fides (Keadilan - Kesederhanaan - Loyalitas).
Suriname beribukota Paramaribo dengan mata uang Dollar Suriname (SRD). Saat ini etnis Jawa 15 persen dari 487.024 jiwa. Etnis Jawa masih melestarikan budaya Jawa dan kesenian Jawa, termasuk bahasanya. Walaupun generasi dibawahnya sudah mulai meninggalkan budaya leluhurnya.
Pada tahun 9 Agustus 1890 sebanyak 94 orang buruh kontrak dari Jawa untuk pertama kali mendarat di dekat Paramaribo dengan tugas membabat hutan dan bekerja di perkebunan. Perpindahan ini melalui laut atas prakarsa dari Nederlandse Handel-maatschappij (NHM). Bersama dengan mereka juga disertakan pekerja pabrik yang berasal dari India. Kedatangan imigran Jawa itu sampai tahun 1914, kecuali 1894, di bagi menjadi dua etape dengan tempat transit Amsterdam. Untuk selanjutnya hingga tahun 1939 tercatat sekitar 32.965 orang Jawa dikapalkan ke Suriname. “Als afreisplaatsen op Java fungeerden Batavia (Djakarta), Semarang en Tandjong Priok. De aangeworven arbeiders (en hun eventuele gezinsleden) verbleven daar enige tijd in een depot waar zij werden geregistreerd en gekeurd. Daar tekenden zij ook hun contract”.
Menurut nukilan keterangan dari sejarah Suriname di atas, mereka (pekerja Jawa) diberangkatkan melalui tempat, yaitu: Batavia, Semarang dan pelabuhan Tanjung Priok. Ada kemungkinan beberapa diantaranya sekeluarga. Sebelum diberangkatkan mereka, yang terdiri dari berbagai tingkat usia itu, mendatangi biro-biro pencari tenaga kerja untuk di daftar dan diperiksa. Setelah itu mereka menandatangani surat kontrak (dengan tanda silang).
Kapal-kapal yang digunakan mengangkut pekerja itu antara lain Buitenzorg, Ambon & Prins Maurits, Banda, Madura & Prins der Nederlanden, Medan & Prins Willem V, Banda en Pr. Willem I, Bali & Prins Frederik Hendrik, Djebres & Prins Willem I, Medan & Prins Willem V, Merauke, Djambi, Karimoen III. Semua kapal ini berjenis SS
Imigran dari Indonesia berkumpul dalam kelompok-kelompok kecil yang. Di setiap kelompok terdapat seorang ketua yang juga ikut dalam proses perekrutan koeli. Biasanya ketua ini berasal satu kota atau kawasan (gewest) dengan anggota kelompoknya. Mereka bekerja di perkebunan yang banyak tersebar di Suriname dan sebagian di pertambangan bauksit.
Seperti hal nya dengan nasib kuli kontrak lainnya, wong Jowo disana mendapat perlakuan yang tidak adil dan mengerikan bahkan saat pertama kali menginjakkan kaki di Suriname. Paramaribo, Juli 1894, dari 612 orang koeli dari Jawa, 32 diantaranya meninggal di perjalanan. 16 orang meninggal begitu turun dari kapal dan 200 diantaranya sakit keras.
Hukuman bagi para pekrja Jawa ini juga ditimpahkan karena kesalahan-kesalahan kecil saja. Ia dianggap disersi bila meninggalkan perkebunan sebentar untuk bercengkrama dengan kawan satu daerah di perkebunan lain, dianggap merusak milik orang lain hanya kaena tidak sengaja memotong ranting pohon kopi, Bahkan pekerja Jawa bisa dilaporkan ke polisi dengan alasan malas bila ia sakit atau lelah. Hukumannya sangat bervariasi, dari kerja paksa sampai penghapusan hak pulang ke Jawa. Di setiap tempat kerja berdiri tiang-tiang pancang untuk menghukum para pekerja.
“Arbeider contract van Sidoardjo”
Pengiriman kuli kontrak ke Suriname berlangsung antara 9 Agustus 1890 sampai dengan 13 Desember 1939. Selama 49 tahun pengiriman ini, jumlah Javanese tercatat 32.965 orang, kurang lebih 200 orang diantaranya berasal dari Sidoarjo.Sebagian besar dari mereka bekerja di onderneming penghasil pala, hanya sebagian kecil yang bekerja di pertambangan Bauksit.
koeli Jawa yang berasal dari Sidoarjo terdiri dari berbagai tingkat usia. Beberapa diantaranya masih berumur dibawah dua puluh tahun. seperti misalnya Boekari, pemuda asal dari Gedangan, pada usia 18 tahun ia menjalani kontrak kerja di Gonggrijp, I.H. antara 16 juni 1907 sampai 16 juni 1912.
Begitu juga dengan Karnie yang masih berumur 17 tahun. gadis asal Krembung (Belanda: Kremboong) ini bekerja kontrak di Agenten NHM, pl. Mariënburg & Zoelen dari 20 juli 1913 sampai 20 juli 1918. Ia berangkat dari Semarang dengan kapal Djebres & Prins Willem I pada tanggal 17 mei 1913. Sampai kini tidak diketahui apakah kedua orang muda ini meninggal dunia di Suriname ataukah berhasil pulang ke Indonesia. Karena dalam catatan Belanda, baik tanggal kematian atau tanggal pulang berakhir dengan satu kata : Onbekend (tidak diketahui).
Dari 32.965 koeli Jawa di Suriname, pada tahun 1954, sebanyak 8.684 orang diantaranya kembali ke Indonesia. Ini dicantumkan pada arsip departemen imigrasi (gepubliceerd in Hoefte, 1998, p. 62 e.v.). tahun 1975 saat Suriname merdeka dari Belanda, orang-orang yang termasuk orang Jawa diberi pilihan, tetap di Suriname atau ikut pindah ke Belanda. Banyak orang Jawa akhirnya pindah ke Belanda, dan lainnya tetap di Suriname. ***
DAFTAR PUSTAKA
1. Arsip Nasional Suriname, Achtergrondinformatie, 2006
2. Berg, C.C. Penulisan Sejarah Jawa, BHARATA 1976
3. Breg, C.C. Javaansche Geschiedschrijving, N.V. Uitgevers Maatschappij Amsterdam, 1938.
4. Dinas Purbakala Jawa Timur. Tafsir Kitab Negarakertagama, 1985.
5. De Graf, H. J, Kerajaan Islam Pertama di Jawa, Pustaka Grafiti Pers dan KITLF, 1986.
6. De Graf, H. J, Runtuhnya Istana Mataram, Pustaka Utama Grafiti dan KITLF, 1986.
7. Houben, Vincebt, J.H. Kraton and Kumpeni, KITLV press 1994.
8. Iswanto, Syaiful Ary. wawancara dengan Totok Widiardi, Juli 2005.
9. Iswanto, Syaiful Ary. Irisan Airlangga yang diiris Belanda, Januari 2005.
10. Hariyono. Kultur Cina dan Jawa, Pustaka Sinar Harapan 1993.
11. Kartodirjo, Sartono. Ratu adil, Sinar Harapan Jakarta, 1984.
12. Surat Keputusan Gubernur Jendral Stbl. No: 138 13 Juli 1889 Koeli Ordonantie & revisi surat keputusan lain tertanggal 11 Maret 1898, Stbl. No: 78
13. Maryono, Oong. Pencak silat merentang waktu, Pustaka Pelajar Yogyakarta, 1998.
14. Moll, J.P.A.C. val. De Onlusten in Sidhoardjo (Mei 1904), Archief Java suker industri, 1905.
15. Majalah Horison, no 11 tahun xx, November 1985
16. Majalah VISI, no 14, volume 2, Februari 2003
17. Nortier, J.J. De Japanese aanval op Java Maart 1942, De Bataafse Leeuw, 1994.
18. Panitia Penggalian Sejarah, Sejarah Sidoarjo, 1970
19. Panitia Penelitian Majalah VISI, Refleksi tentang Pandangan Hidup Masyarakat Sidoarjo, 2003
20. Panyebar Semangat, No 45, 11 Nopember 1995 Monumen Sa-abad Wong Jawa Dibangun ing Kaledonia Baru.
21. Radar Surabaya. Legenda Candi Pari Sarat dengan Nuansa Politik, 25 Juni 2003.
22. Staatsarchief Suriname, Archief Immigratiedepartement Gepubliceerd in Hoefte, 1998
23. Suyono, Capt.R.P. Seks dan kekerasan di jaman Kolonial, Grasindo Jakarta, 2005.
24. Sidoarjo pos. Siklus atau satria piningit?, minggu ke 3 Mei 2005.
25. Sidoarjo pos, Persembahan untuk Ratu, Minggu ke 2 April 2005.
26. Stapel, Dr. F.W. Geschiedenis van Nederlands Indie, N.V. Uitgevers Maatschappij Amsterdam, 1938.
27. Toer, Pramoedya ananta. Panggil aku Kartini saja, Hasta Mitra Jakarta, 2000.
28. Toer, Pramoedya Ananta, Hoakiau di Indonesia, Garba Budaya, 1998.
29. Toer, Pramoedya ananta. Arok Dedes, Hasta Mitra Jakarta, 2000.
30. Widodo, Imam Dukut. Surabaya Tempo Doeloe, 2002
31. Wikipedia Indonesia, Ensiklopedia Bebas Berbahasa
Indonesia, Republiek Suriname, 2005
32. Yuanzi, Prof Kong, Muslim Tionghoa Cheng Ho, Yayasan Obor Indonesia, 2000
BUPATI SIDOARJO
DARI MASA KE MASA
1. R.T. Tjokronegoro 1 1859-1863
2. R.T. Tjokronegoro 2 1863-1883
3. Sumodirejo 1883-(wafat 3 bulan kemudian)
4. R.A.A.P. Tjondronegoro 1 1883-1906
5. R.A.A.P. Tjondronegoro 2 1906-1924
6. Sumodiputro 1926-1932
7. - kosong 1932-1933
8. R.A.A. Soejadi 1933-1947
9. K.Ng. Soebakti Pusponoto 1947-1949
10. Soeharto 1949-1950
11. R. Soeriadi Kertoprojo 1950-1958
12. H.A. Choedori Amir 1958-1959
13. R.H.Samadikoen 1959-1964
14. H.R.Soedarsono 1965-1975
15. H. Soewandi 1975-1985
16. Soegondo 1985-1990
17. Edhi Sanyoto 1990-1995
18. Soedjito 1995-2000
19. Drs.Win Hendrarso & H. Saiful Ilah, S.H 2000-2005
20. Drs.Win Hendrarso H. Saiful Ilah, S.H 2005-2010

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Roulette Free Play - CasinoSecret
Roulette クイーンカジノ free play is a popular way カジノ シークレット to enjoy online Roulette. Play the game ラッキーニッキー now to learn how to play, see how and where you can play it.